Sabtu, 11 Juli 2009

Harapan untuk Presiden Terpilih

Nelayan bagan dari Desa Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Senin (8/6) pagi, menurunkan ikan bilis hasil menjaring di bagan yang berada di perairan ambang batas laut (ambalat) Indonesia-Malaysia. Setelah dijemur kering, ikan itu kemudian dijual ke Tawau, Malaysia. (Foto: Kompas/M Syaifullah)

Oleh M Hernowo

Jangan gunakan sebutan indon...

Gunakan sebutan Indonesia!!!

Bukan indon...

Demikian salah satu peringatan yang dipasang di kantor imigrasi di Dermaga Sungai Nyamuk, Sebatik, Kalimantan Timur.


Oleh karena dipasang persis di atas loket tempat mendapatkan cap di buku Pas Lintas Batas, sejenis paspor yang dimiliki warga Sebatik untuk pergi ke Tawau, Malaysia, peringatan itu akan terbaca oleh siapa saja yang berniat pergi atau pulang dari Tawau.

”Indon” merupakan sebutan umum di Malaysia untuk orang Indonesia. Namun, sekarang indon sering dipersepsikan negatif, yaitu sebutan untuk ”orang kelas dua” seperti TKI yang bekerja kasar di Malaysia.

Misalnya sebagai pembantu rumah tangga, buruh bangunan, atau di perkebunan kelapa sawit. Indon juga sering dipersepsikan sebagai orang Indonesia yang menjadi salah satu sumber masalah sosial di Malaysia.

Selain ”direndahkan” dengan sebutan indon, para TKI itu juga sering kali mendapat perlakuan yang tidak pantas di Malaysia. Bahkan, perlakuan ini sudah harus dirasakan saat menjalani pemeriksaan dokumen di Tawau yang kadang kurang manusiawi. Penganiayaan kerap harus diterima jika dianggap tidak bekerja dengan baik.

”Banyak dari TKI kita yang diperlakukan seperti binatang di Malaysia. Ironisnya, perlindungan pemerintah terhadap mereka juga amat kurang,” kata M Sain, Ketua Komisi Pemilihan Umum Nunukan yang juga penggiat gerakan untuk perlindungan buruh migran.

Sikap ini sejatinya tidak adil sebab seburuk-buruknya TKI, mereka juga turut membangun Malaysia. Tanpa kehadiran TKI, Malaysia akan kesulitan untuk mengurus perkebunan sawit hingga melanjutkan sejumlah proyek pembangunannya.

Namun, meski diperlakukan tidak adil, lalu lintas TKI ke Malaysia seolah tiada habisnya. Sain memperkirakan, ada 300.000-400.000 TKI yang menggunakan Nunukan sebagai titik untuk menuju Malaysia. Antrean TKI ini hampir setiap pagi dapat dilihat di Pelabuhan Nunukan. Penampilan mereka terlihat mencolok, seperti bergerombol untuk masuk kapal dan membawa banyak barang.

Lewat sungai

Selain para TKI yang umumnya bukan warga asli Nunukan, sejumlah warga kabupaten itu juga banyak yang bekerja di Malaysia. Selain lewat Pelabuhan Nunukan, mereka masuk ke Malaysia melalui Dermaga Sungai Nyamuk di Sebatik.

Berbeda dengan para TKI yang untuk masuk Malaysia harus memakai paspor, mereka cukup memakai Pas Lintas Batas yang berlaku selama satu tahun.

”Sebenarnya saya ingin bekerja di negara sendiri. Namun, di sini tidak ada kerjaan,” keluh Dadu, warga Sebatik yang bekerja di salah satu bagan ikan milik orang Malaysia yang didirikan di perairan milik Malaysia. Kerja yang membuatnya hanya 10 hari sekali pulang ke rumah ini menghasilkan pemasukan sekitar Rp 1,5 juta tiap bulan. Pemasukan itu sama dengan upah buruh di Tawau, sekitar 13 ringgit (Rp 50.000) per hari.

Namun, uang yang didapat Dadu dan rekannya, khususnya dari Sebatik yang bekerja di Malaysia, tidak semuanya dibawa pulang ke Indonesia. Sebagian besar justru berputar kembali di negeri jiran tersebut. Ini karena sebagian besar kebutuhan warga Sebatik, seperti beras, minyak goreng, sabun mandi, dan minuman ringan, diproduksi oleh Malaysia dan dibeli di Tawau.

”Orang sini lebih suka barang dari Malaysia. Selain timbangannya pas, kualitasnya juga lebih baik dan harganya lebih murah dibandingkan dengan barang dari Indonesia,” kata Ani, pedagang kelontong di Desa Pancang, Sebatik.

Ani mencontohkan, dengan kulakan di Tawau, dia bisa menjual 1 kilogram gula pasir seharga 2 ringgit (sekitar Rp 6.000) dan minyak goreng 3 ringgit (Rp 9.000) tiap liter. Jika kulakan di Tarakan, gula pasir itu harus dijualnya Rp 9.000 per kilogram dan minyak goreng Rp 12.000 per liter.

Hal ini terjadi karena Tawau merupakan kota besar dan cukup ditempuh selama 15 menit dari Sebatik dengan perahu kecil. Adapun untuk mencapai Tarakan dibutuhkan waktu 3 jam dengan perahu. Barang di Tarakan sering kali juga harus didatangkan dari Balikpapan hingga rantai ekonominya menjadi lebih panjang.

Pegang ringgit

Kondisi seperti di atas membuat warga Sebatik lebih suka memegang ringgit Malaysia daripada rupiah. Padahal, uang menjadi salah satu bukti kehadiran dan kedaulatan sebuah negara. ”Sudah banyak pejabat pemerintah pusat yang datang ke sini dan kemudian berjanji untuk membangun Sebatik agar warga di sini dapat hidup lebih makmur dan mandiri sehingga tidak perlu lagi tergantung dengan Tawau. Namun, semuanya masih sebatas janji,” kata Suaedi, Camat Sebatik Induk.

Oleh karena yang selama ini diterima warga Sebatik umumnya masih janji, kondisi daerah itu sampai sekarang tetap memprihatinkan. Jalanan rusak, pabrik es belum ada sehingga nelayan harus menjual hasil tangkapannya di Tawau, dan lampu sering mati. Kondisi itu berbeda sekali dengan Tawau yang amat gemerlap di waktu malam.

Namun, meski hanya memegang janji, warga Sebatik tetap tidak kehilangan harapan terhadap Indonesia. Buktinya, dari 15.708 pemilih yang tercatat di Kecamatan Sebatik Induk pada pemilihan umum presiden lalu, diperoleh suara sah 9.426 atau sekitar 60,01 persen. Dengan ikut memilih, mereka menjaga sejumlah harapan bahwa Presiden Indonesia 2009-2014 dapat lebih cepat mengubah keadaan Sebatik.

Dengan demikian, Merah Putih dapat lebih tegak berkibar di Dermaga Sungai Nyamuk dan warga Indonesia yang ada di Tawau, dan bahkan tempat lain di luar Indonesia, dapat lebih tegas berbicara, ”Kami orang Indonesia, bukan indon.”

Harian KOMPAS, Sabtu 11 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar