9 Maret 2005, Tarakan -- Presiden SBY didampingi Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyaksikan persiapan Marinir di garis depan perbatasan RI-Malaysia. (Foto: detikFoto/Dudi Anung)
9 Juni 2009, Nunukan -- Kembali memanasnya sengketa perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di blok Ambalat saat ini, berbuntut pada terbitnya kebijakan pemerintah Malaysia yang cukup mempersulit warga Indonesia di kawasan perbatasan.
Kemarin, mulai sekitar pukul 08.00 Wita, Polis Marine Malaysia yang berjaga-jaga di wilayah perairan Tawau sempat menolak warga Indonesia dari Sebatik memasuki kota Tawau, walau untuk kepentingan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sehingga beberapa kapal dan speed boat dari Sebatik yang sempat bertolak membawa penumpang menuju Tawau, terpaksa harus berbalik arah menuju ke Sebatik lagi.
“Saya terpaksa kembali membawa pulang penumpang ke Sebatik karena Polis Marine di Tawau melarang kami masuk,” terang salah seorang motoris speed penumpang di Sebatik yang tampak kecewa dengan adanya kebijakan tersebut. Kekecewaan itu terjadi lantaran mereka terpaksa merugi akibat batal menerima pembayaran ongkos penumpang yang seharusnya diseberangkan ke kota di negeri jiran itu. Padahalpara motoris sudah mengeluarkan modal yang tidak sedikit untuk membeli bahan bakar speed boat yang digunakan.
Namun sekitar dua jam kemudian, kebijakan larangan memasuki kota Tawau tersebut tiba-tiba dicabut kembali. Arus speed boat penumpang dari Sebatik ke Tawau atau sebaliknya kembali normal.
Dari informasi yang diperoleh harian ini di lapangan, dalih Polis Marine Malaysia sempat melarang speed boat yang membawa penumpang dari Sebatik memasuki ke Tawau tersebut, karena waktunya yang masih terlalu pagi, sehingga kantor imigrasi di Pelabuhan Tawau belum buka.
Namun oleh para motoris speed boat, dalih tersebut dinilai mengada-ada, mengingat selama ini mereka biasa memberangkatkan penumpang pada jam yang sama dan tidak ada pelarangan oleh Polis Marine Malaysia.
Belakangan, harian ini memperoleh informasi lebih jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Kebijakan pemerintah Malaysia tersebut terkait dengan gencarnya pemberitaan media Indonesia yang mengangkat sengketa Ambalat di perairan Karang Unarang saat ini.
“Para pejabat tinggi institusi terkait pemerintah Malaysia di wilayah negara bagian Sabah, menjadi gusar dengan ekspose berita media massa tentang permasalahan di Ambalat saat ini,” terang sumber tersebut.
Upaya mempersulit aktivitas warga Indonesia di wilayah perbatasan oleh Malaysia saat ini, khususnya di Kecamatan Sebatik, merambah juga hingga para pelaku perdagangan tradisional yang selama ini berjalan mulus tanpa hambatan.
Pedagang dari sebatik yang umumnya membawa hasil perkebunan untuk dijual di pasar Tawau, saat ini dikenakan biaya cap stempel Pas Lintas Batas (PLB) di Imigresen Malaysia sebesar RM20 atau setara dengan Rp 60 ribu.
“Setiap pedagang harus bayar biaya cap stempel Imigresen sebesar 10 Ringgit setiap memasuki Tawau dan bayar lagi 10 Ringgit ketika akan keluar dari Tawau,” terang salah seorang pedagang di Desa Aji Kuning Kecamatan Sebatik yang memastikan sekitar sebulan sebelumnya, kebijakan tersebut tidak ada.
Menurut dia, rata-rata jumlah warga Sebatik termasuk pedagang tradisional yang menyeberang ke Tawau melalui pintu dermaga di Desa Aji Kuning tiap hari bisa mencapai 100 orang.
(Kaltim Post)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar