Selasa, 16 Maret 2010
Normalisasi Militer
17 Maret 2010, Jakarta -- Normalisasi hubungan militer Indonesia dan Amerika Serikat harus dilihat dalam konteks geostrategis. Indonesia memiliki banyak alternatif pihak untuk diajak bekerja sama dalam menjaga stabilitas di kawasan Asia dan Pasifik.
”Kepentingan kita, normalisasi hubungan militer dengan AS secara simbolik menunjukkan ada perbaikan yang signifikan. Sementara AS menginginkan stabilisasi di kawasan ini,” ungkap pengamat militer, Edy Prasetyono, di Jakarta, Selasa (16/3).
Diskusi tentang normalisasi hubungan militer AS-Indonesia mencuat menjelang kedatangan Presiden AS Barack Obama. Satu masalah yang masih dalam proses lobi adalah pelatihan bersama United States Special Forces dengan Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus).
Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara berperan menjaga kawasannya yang merupakan jalur lalu lintas internasional agar tetap stabil, aman, dan terbuka. Untuk itu, Indonesia harus menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan dengan berhubungan dengan negara mana pun. Peran ini signifikan mengingat ada beberapa kekuatan di Asia, seperti China, Jepang, dan India. ”Indonesia akan ditanya, apa punya grand strategy menghadapi berbagai kekuatan regional itu,” kata Edy.
Efek normalisasi kerja sama militer AS-Indonesia lebih bersifat simbolik. Alasannya, untuk fisik, seperti senjata, Indonesia bisa membeli dari negara lain.
AS bisa secara bertahap membuka kerja sama dengan Kopassus, misalnya dalam penjagaan perdamaian atau hukum humaniter. Hal ini juga sesuai dengan agenda jangka panjang AS yang menginginkan demokratisasi dan profesionalitas militer. ”Misalnya, bagaimana menangani kasus yang sensitif,” kata Edy.
Sebelumnya, Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal TNI Lodewijk F Paulus mengatakan, kehadirannya selama 10 hari di AS beberapa waktu lalu untuk menjelaskan reformasi internal Kopassus. ”Soal normalisasi, itu ada pada level yang lebih tinggi,” katanya.
Menurut Lodewijk, terwujud atau tidaknya normalisasi itu, selama ini Kopassus rutin latihan bersama dengan Singapura, Thailand, Australia, dan Korea Selatan. ”Kita juga menjajaki latihan bersama dengan China,” katanya seusai serah terima jabatan semua komandan grup, pusat pendidikan, dan Satuan-81 Antiteror Kopassus.
Kerja sama TNI-Polri
Secara terpisah, di Jakarta, Senin, Panglima TNI Jenderal (TNI) Djoko Santoso menyebutkan, kerja sama TNI dan Polri dalam menangani gerakan radikal bersenjata, seperti terorisme dan separatisme, perlu dikaji dan dievaluasi. Kerja sama TNI dan Polri seperti itu memiliki aspek yang strategis untuk menanggulangi setiap ancaman yang merongrong stabilitas.
Panglima TNI menyampaikan hal itu pada penutupan latihan gabungan TNI-Polri terkait penanganan terorisme di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Hadir dalam acara itu Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri.
”Dari aspek strategis, kerja sama TNI dan Polri dapat dikaji dan dievaluasi dengan sebaik-baiknya,” kata Djoko. Dari aspek operasional, latihan bersama TNI dan Polri dapat menjadi sarana mengevaluasi standar prosedur operasi bersama dalam menanggulangi terorisme.
Dari aspek teknik dan taktik, lanjut Djoko, latihan bersama itu bisa menjadi tolok ukur teknik dan taktik masing-masing unit atau kesatuan yang melakukan latihan penanggulangan terorisme. Dari aspek psikologis, latihan bersama dapat menjadi momentum membangun suasana kebersamaan TNI dan Polri.
KOMPAS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar