12 Juni 2009, Solo -- Sejumlah pegiat membentangkan poster saat seribuan umat islam melakukan aksi damai serta long march di Bundaran Gladak, Solo, Jumat (12/6). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk dukungan dalam pertikaian yang memanas di blok ambalat, serta meminta pemerintah manaikkan biaya alutista TNI guna mempertahankan negara kesatuan RI. (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/ed/pd/09)
12 Juni 2009, Jakarta -- Peta Indonesia sudah memasukkan blok Ambalat sejak 1964 ketika RI menentukan titik-titik pulau terluar yang kemudian dikuatkan dengan PP tentang titik-titik paling luar wilayah Indonesia.
"Sementara bagi Malaysia Ambalat masuk dalam 'New Map of Malaysia' pada 1974," kata Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Rudolf W Matindas di sela Technical Cooperation among Developing Countries (TCDC) Course di Cibinong, Bogor, Jumat.
Menurut dia, dengan PP tersebut RI kemudian memiliki hak berdaulat yang menjadi dasar pemberian konsesi beberapa perusahaan pertambangan minyak.
Kemudian, lanjut dia, situasi berkembang. Malaysia juga mengklaim secara sepihak wilayah tersebut dan terakhir patroli kapal-kapal Malaysia dianggap melanggar teritorial RI, namun bisa diselesaikan dengan membuat kapal-kapal tersebut berputar kembali.
"Tiap negara punya aspirasi soal batas-batas, kalau 'overlapping' masing-masing pihak mengklaim maka kedua negara harus bersepakat untuk kemudian jadi batas internasional," katanya.
Kedua negara sejak beberapa tahun lalu sudah 13 kali melakukan perundingan untuk klaim Ambalat.
Ditanya apakah Ambalat milik Indonesia, ia menjawab, dalam peta Indonesia Ambalat milik RI di mana dasar lautnya merupakan daerah konsesi perminyakan, namun bukan perairan Ambalatnya.
Rudolf mengatakan, soal detil wilayah klaim Indonesia, harus dilihat di lapangan, klaim unilateral juga harus dengan mengajukan argumen-argumen kuat dalam perundingan.
Ia menyatakan yakin bahwa soal Ambalat bisa diselesaikan dengan baik melalui perundingan kedua negara.
"Jangan sampai hanya karena Ambalat, terjadi internasionalisasi Selat Malaka, di mana masalah antara beberapa negara tetangga berpindah menjadi masalah internasional. Ini berbahaya bagi kedaulatan RI," katanya.
(ANTARA JATENG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar