Awal 2004 hingga pertengahan 2011 menjadi waktu paling berharga bagi Wangi Indrya (51) seorang dalang wayang yang juga dikenal sebagai penari topeng asal Desa Tambi, Sliyeg, Indramayu, Jawa Barat. Pewaris kesenian tradisional Tari Topeng Gaya Tambi ini diajak main drama kolosal “I La Galigo” karya sutradara Robert Wilson, yang diangkat dari naskah “I La Galigo”, naskah kuno karya Arung Pancana Toa, berdurasi empat jam tanpa jeda. Dalam pertunjukan tersebut, Wangi Indriya dipercaya untuk menghidupkan peran We Nyilih Timoq.
Pada Maret 2004, “I La Goligo” digelar di Esplanade Singapura. Setelah itu lalu digelar di Muziektheater Belanda, Teatro Liure Barcelona, dan Teantro Espanol Madrid (Mei 2004), Les Nuits de Fourviere Lyon, dan Teatro Alighieri Ravenna memjadi penutup rangkaian pergelaran “I La Galigo” di tahun 2004.
Tahun 2005 pementasan hanya dilakukan di New York, Amerika Serikat (Juli 2005) dan Jakarta (Desember 2005), sementara di Australia pegelaran berlangsung pada Oktober 2006, Milan, Italia dan Taipei, Taiwan (2008) diakhiri di Makassar pada April 2011.
Dalam hal menjalin kerja sama, Wangi tidak hanya bekerja sama dengan Robert Wilson tetapi juga menjalin kerja sama dengan Mugiyono Dance dan Teater Grasi Yogyakarta. “Kerja sama isi saya lakukan selain untuk memperkenalkan apa dan bagaimana tari topeng itu, juga berupaya untuk menyebarluaskan ke masyarakat dunia,” ujar Mimi Wangi Indriya, disela-sela persiapan pegelaran Program Revitalisai dan Pewarisan Kesenian Tradisonal yang diselenggarakan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, bertempat di Teater Terbuka (Dago Tea House), Sabtu (25/2) lalu.
Dikatakan Wangi, untuk mencapai “sari” sebagai penari topeng yang profesional akan hal itu bukanlah perkara yang mudah. “Saya menjalani kesenian sejak dulu hingga seperti sekarang ini bukan perkara yang mudah. Banyak halangan dan rintangan pahit getir yang harus dijalani,” ujar wanita kelahiran Indramayu 10 Agustus 1961, yang mendapat ilmu menari langsung dari Wisad kakeknya di usia 5 tahun.
Selain mendapat ilmu menari topeng dari Wisad (kakeknya), Mimi Wangi juga mendapat ilmu dari Warsem (asal Juntiyuat)), serta dari Nargi, Tomo, dan Tarip (asal Sukagumiwang). Keinginan untuk menjadi penari juga membawa Mimi Wangi bertemu dengan maestro tari topeng asal Pakandangan Alm, Mimi Rasinah.
“Sebenarnya sudah lama disuruh Mama Taham (ayahnya) untuk menemui Mimi Rasinah. Tapi baru bisa menemui sekitar tahun 1994, itu pun sangat susah karena Mimi tidak mau lagi menari karena sudah 20 tahun lebih tidak menari. Baru setelah mengajak Pak Toto (Amsar) dan Pak Endo (Suwanda), secara perlahan Mimi mau berbagi ilmu,” ujar Mimi Wangi mengenang.
Setelah mendapat ilmu dari kakeknya (Wisad) dan ayahnya (Taham) serta sejumlah maestro, tanggung jawab moral pun tertumpu di pundak Mimi Wangi. Dirinya mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara serta mewariskan kepada turunan serta mereka yang sama-sama memiliki kepedulian akan tari topeng. “Banyak berkiprah di luar menjadi jalan satu-satunya untuk memacu keinginan anak-anak belajar tari topeng. Apa pun saya lakukan seperti terlibat dalam berbagai karya seni dengan seniman lain yang menghantarkan saya ke banyak Negara,” ujar Mimi Wangi.
Gayung bersambut, Sanggar Seni Mulya Bhakti yang didirikan Taham mamanya pada tahun 1983 mendapat bantuan rehab sanggar pada tahun 2000. Baru tahun 2007 Mimi Wangi yang mewarisi sanggar menjalankan dengan serius. Tercatat ada 347 orang berlatih tari topeng, belajar gamelan (347 orang), seni pedalangan (6 orang), dan seni berokan (20 orang). “Mudah-mudahan warisan seni ini akan tetap langgeng dan terjaga,” ujar Mimi Indriya berharap.
Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar