TNI. Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoeddin (kanan) didampingi Kasad Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo (tengah) dan Kasal Laksamana TNI Soeparno menyampaikan jawabang kepada anggota Komisi I DPR saat rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/3). Komisi I DPR mendukung daftar pengadaan alutsista TNI 2010-2014 yang sumber pembiayaannya dialokasikan dari Alokasi Pinjaman Pemerintah (APP) Kemhan/TNI Tahun Anggaran 2010-2012 sebesar 5,7 miliar dolar AS serta mengupayakan dilakukannya amandeman terhadap daftar stat loan agreement tahun 2007 antara pemerintah RI dengan pemerintah federasi Rusia sehingga pengadaan 6 unit Sukhoi SU-30 MK2 dapat menggunakan skema pembiayaan state credit. (Foto: ANTARA/Andika Wahyu/ama/12)
26 Maret 2012, Senayan: Sejumlah anggota Komisi I DPR RI mencecar Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin soal dugaan mark up dalam pembelian enam pesawat Sukhoi dari Rusia.
"Dalam pengadaan pesawat Sukhoi SU-30MK2, diduga terjadi mark-up dalam prosesnya. Karena nilainya menggelembung dari harga Sukhoi yang dikenal di pasaran pada umumnya," ujar anggota Komisi I Muhammad Najib dalam raker dengan Wamenhan di DPR, Senin(26/3)
Kata Najib, pengadaan Sukhoi itu juga diduga melibatkan broker. Sehingga terjadi selisih harga pembelian enam Sukhoi SU-30MK2, sebesar US$ 56,7 juta atau setara dengan Rp 538,6 miliar.
"Dalam pengadaan tahun 2010, nilai pembelian Sukhoi dari produsen yang sama hanya berkisar US$ 55 juta. Jika harga kesepakatan adalah US$ 500 juta untuk enam Sukhoi, ini artinya harga per satu Sukhoi adalah US$ 83 juta," ujarnya.
Menurut politisi PAN ini, pembelian enam Sukhoi seharga US$ 470 juta itu juga tidak dilakukan secara langsung antara Kemhan dengan produsen Sukhoi, Rosoboronexport. Melainkan melalui perusahaan pihak ketiga, Trimarga Rekatama, yang menyebabkan harganya lebih mahal daripada harga yang dibeli negara lain.
Sementara anggota Komisi I lainnya dari Fraksi partai Gerindra Ahmad Muzani juga menduga keterlibatan pihak ketiga, yakni JSC Rosoboronexport Rusia, yang diageni PT Trimarga Rekatama, membuat harga per unit Sukhoi melambung dari US$ 55 juta pada 2010 menjadi US$ 83 juta pada 2011.
"Dari skema pembiayaan dengan kredit ekspor, agen mendapatkan fee 15-20 persen dari harga barang. Sehingga berpotensi kerugian negara lebih dari Rp 1 triliun," ujarnya.
Kemhan Bantah Ada Mark Up Pembelian Sukhoi
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan) membantah telah terjadi mark up dalam rencana pembelian enam unit pesawat tempur dari Rusia, Sukhoi seri SU 30MK2.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (26/3), Sekjen Kemhan Marsdya Eris Herryanto menjelaskan, pengadaan pembelian pesawat Sukhoi ini terdiri dari tiga tahap yaitu tahap pertama terdiri dari pengadaan pada tahun 2003-2004 sebanyak empat unit, tahap kedua sebanyak enam Sukhoi tahun 2007, dan tahap ketiga sebanyak enam Sukhoi pada tahun 2011-2012.
"Sekilas pengadaan Sukhoi pada tahap kedua, pembayarannya dengan commercial credit tidak menggunakan state credit. Pada 14 Mei 2007, di lingkungan pemerintah dilakukan rapat antara Kemhan, Menkeu, Bappenas, Mabes TNI dan angkatan serta delegasi dari Rusia untuk membahas pengadaan alutsista dari Rusia dengan state credit. Namun tidak dicantumkan hal itu untuk membeli Sukhoi. Sehingga sampai saat ini pembelian Sukhoi tidak menggunakan state credit, tapi menggunakan commercial credit," ujarnya.
Eris mengatakan, dalam pembelian Sukhoi tahap kedua meski menggunakan commercial credit, saat itu Kemenkeu sudah berhubungan dengan sejumlah penerbangan swasta dan nasional untuk turut membiaya pembelian Sukhoi ini. "Jadi pembelian pesawat Sukhoi kedua juga dibiayai konsorsium bank-bank dalam negeri," ujarnya.
Kemudian pada tahap pembelian Sukhoi tahap ketiga, kata Eris, anggaran untuk pengadaan enam Sukhoi tahun 2010-2014 dengan menggunakan fasilitas kredit ekspor untuk TNI AU sebesar 470 juta dolar AS.
"Adapun kronologi pengadaannya, proses pengadaannya dimulai dari awal dengan pengecekan oleh pihak TNI AU dan pengecekan. Pada saat itu yang diajukan adalah Rosoboronexport di Moskow yang juga mempunyai perwakilan di Jakarta (PT Trimarga Rekatama)," ujarnya.
Lebih lanjut Eris mengatakan, pada 25 November 2011, sidang Tim Evaluasi Pengadaan (TEP) diberhentikan karena dua hal. Pertama masih terdapat spesifikasi teknis yang akan disuplai Rosoboronexport tidak sesuai dengan kebutuhan TNI AU. Kedua, masih terdapat perbedaan penawaran harga cukup tinggi saat itu.
Saat itu, Rosoboronexport menawarkan satu pesawat Sukhoi yang nantinya akan diserahkan pada tahun 2012 satu pesawat Sukhoi nilainya 55,980 juta dolar AS. Sedangkan yang akan diserahkan pada 2013 harganya 59 juta dolar AS.
"Menurut kami, hal ini tidak lazim dilakukan bagi penyedia jasa. Bahwa kebutuhan alutsista mempunyai nilai yang berbeda pada saat delivery. Sehingga dari dua alasan tersebut kita menghentikan sidang TEP untuk memberikan waktu pada Rosoboronexport untuk meng-adjust harga dan menyampaikan spek pesawat yang diinginkan TNI AU," ujarnya.
Kemudian, kepada pihak Rosoboronexport sudah disampaikan bahwa pemberian harga dalam hal ini tidak terlalu mahal. "Kemudian kami meminta staf khusus Kemhan bidang ekonomi untuk menilai layak tidaknya eskalasi harga yang ditawarkan tersebut, dengan termasuk melihat eskalasi ekonomi di Rusia, harga-harga material dan sebagainya. Alasan perubahan harga ini terkait perkembangan inflasi," ujarnya.
Namun, dalam kunjungan ke Rusia terakhir, akhirnya pihak Rosoboronexport menurunkan harganya menjadi 54,800 juta dolar AS. "Dan, harga itu sama dengan harga pembelian untuk tahun 2013. Dari harga terakhir itu, karena kita membeli enam unit maka total harganya menjadi 328,800 juta dolar AS."
Dari alokasi dana untuk pembelian Sukhoi sebesar 470 juta dolar AS, sisa dari alokasi anggaran itu antara lain digunakan membeli 12 unit engine AL 31 F, spart dan tools.
DPR Belum Teken, DP 6 Sukhoi Belum Dibayar
Enam unit Sukhoi Su-30MK2 dari Rusia rupanya belum dibayar uang mukanya. Pemerintah belum ada uang lantaran DPR belum memberi persetujuan.
“Uang muka pembelian enam Sukhoi belum dibayar, karena masih menunggu persetujuan DPR,” kata Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja Komisi I dengan Kemhan dan TNI di DPR RI, Senin (26/3).
Pernyataan Sjafrie menanggapi Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq memersoalkan pembelian pesawat tempur Rusia itu karena tidak menggunakan state credit.
Menurutnya, daftar pembelian alutsista yang dapat dibeli dengan state credit bisa diubah sesuai kesepakatan kedua pihak. “Saya kira itu akan dijajaki Kementerian Keuangan dan Pemerintah Rusia,” kata Mahfudz.
Selain dari dalam, kendala pengadaan Sukhoi juga dari Rusia. Kata Sjafrie, Rusia menolak pembelian Sukhoi dengan state credit.
"Tidak disetujui federal service on military technical operation di Rusia. Maka pengadaan Sukhoi tetap menggunakan kredit komersial biasa. Tetapi suku cadang, persenjataan dimasukkan dalam list state credit,” katanya.
Dalam pertemuan itu, DPR tetap meminta penjelasan transaksi Sukhoi. “Ada perbedaan dengan negara tetangga Taiwan dan bedanya cukup besar,” kata Anggota Komisi I DPR RI Lily Wahid. (????)
Sumber: Jurnal Parlemen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar