(Foto: Kompas)
27 Maret 2012, Jakarta: Menjadi sebuah kelaziman bagi negara-negara yang ingin lebih mandiri industri pertahanannya, untuk menyertakan proses alih teknologi saat pembelian alusista. Indonesia pernah melakukan hal itu secara terbatas pada saat pembelian F 16.
"Anehnya pada saat pembelian Sukhoi, kita sama sekali mengabaikan alih teknologi ini. Kita tidak melibatkan BUMN bidang terkait seperti PT Dirgantara dan PT Pindad," kata juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Poengky Indarti dalam jumpa pers koalisi tersebut di kantor Kontras siang ini.
Menurut Poengky, Indonesia seharusnya tidak mengulangi kesalahan yang pernah terjadi, pada saat kita mengalami embargo suku cadang persenjataan kita oleh AS.
"PT Dirgantara dan Pindad kami yakini bisa berperan dalam alih teknologi dalam porsi tertentu, berkaitan dengan teknologi alusista yang kita beli dari luar negeri," kata dia.
Komisi I Seharusnya Kejar Performa Invoice dan Kontrak Pengadaan Sukhoi
Komisi I DPR RI seharusnya berani 'mengejar' Pemerintah yang diwakili Wamenhan, mengenai performa invoice dan kontrak pengadaan Sukhoi. Hal ini penting dilakukan agar dapat menjawab hal-hal yang mencurigakan dalam pengadaan jet tempur buatan Rusia tersebut, yang berpotensi merugikan negara.
"Harusnya Komisi I langsung 'mengejar' Wamenhan soal performa invoice dan kontrak. Janganlah DPR takluk dengan alasan Wamenhan, yang selalu mengatasnamakan rahasia negara," kata peneliti Imparsial Al Araf, dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, di kantor Kontras siang ini.
Menurut Araf, Komisi I DPR juga harus berani meneliti lagi kontrak pengadaan Sukhoi, bahkan merevisi kontrak tersebut, bila memang ada hal-hal yang sangat merugikan keuangan negara. Terlebih lagi situasi keuangan negara saat ini sedang sulit, dan pemerintah sampai harus menaikkan harga BBM, yang berpotensi memberikan efek berganda bagi ekonomi rakyat banyak.
"Kami dari koalisi sangat mendukung modernisasi alusista TNI. Namun jangan sampai proses pengadaannya yang menggunakan anggaran negara dalam jumlah sangat besar, sangat menyakitkan rakyat yang hidupnya masih susah. Ini yang ingin kami tekankan," kata lulusan Magister Menejemen Pertahanan ITB tersebut.
Selain itu Araf mendesak proses hukum harus dikedepankan terlebih dahulu, daripada proses politik dalam menyikapi kasus dugaan mark up pembelian Sukhoi. Terkait dengan hal itu Koalisi meminta KPK untuk serius menindaklanjuti laporan Koalisi tentang dugaan mark up, yang telah diserahkan pekan lalu.
"KPK harus bisa membuktikan sebagai lembaga super untuk pemberantasan korupsi, yang bisa juga mengusut kasus dugaan korupsi di TNI," kata Araf.
Transparansi Pengadaan Alutsista Dinilai Gagal
Pertemuan Wamenhan dengan Komisi I DPR RI terkait rencana pengadaan alusista berupa Sukhoi SU 30-MK2 yang jadi sorotan publik dinilai Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, tidak ada kemajuan dalam konteks penegakan prinsip transparansi dan akuntabilitas pejabat publik.
"Hal ini karena pemerintah belum bersedia membuka kontrak pembelian Sukhoi yang telah ditandatangani pada 29 Desember 2011. Dan pemerintah juga tidak menjawab secara tegas keterlibatan PT Trimarga Rekatama, apakah terlibat perencanaan pengadaan Sukhoi apa tidak. Disisi lain Rusia sudah membantah keterlibatan pihak Trimarga Rekatama. Jadi ini bisa-bisanya pemerintah saja," kata juru bicara Koalisi tersebut, Poengky Indarti, dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Selasa (27/3) siang ini.
Menurut Poengky dengan tidak dibukanya hal-hal tersebut, maka hal ini menunjukkan bukti kuat bahwa penggunaan anggaran senilai 470 juta Dolar AS untuk pembelian Sukhoi tidak transparan. "Hal ini juga berarti langkah pemerintah bertentangan dengan UU KIP," kata lulusan FH Unair tersebut.
Padahal prinsip transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, harus menjadi sebuah tahap yang esensial untuk menuju kepada proses pengambilan kebijakan publik yang dapat dipertanggungjawabkan. "Terlebih lagi ini memakai anggaran senilai 470 juta Dolar AS, ini jumlah yang besar sekali," kata Poengky.
Dalam kesempatan yang sama peneliti ICW, Adnan Topan Husodo, mengatakan bahwa koalisi menemukan adanya anggaran ganda dalam rencana pembelian Sukhoi. Menurut Adnan pemerintah membeli Simulator Sukhoi pada sumber anggaran yang berbeda, dan harga yang berbeda pula.
"Satu contoh, untuk APBN-P alokasi anggaran simulator Rp 376 Milyar lebih. Terus mengapa ada anggaran untuk alat yang sama dari alokasi state credit Rusia yang setara dengan Rp 427 Milyar lebih. Mengapa ada dua mata anggaran untuk beli satu alat, kenapa tidak jadi satu saja. Hal ini belum dijawab pemerintah," tanya dia.
Sumber: Suara Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar