Minggu, 04 April 2010

Tak Adil, Gara-gara Gayus Remunerasi TNI Dihentikan

Sejumlah pasukan Khusus TNI bersiaga diatas perahu karet saat latihan Latgabma (latihan gabungan bersama) TNI- ATM (Angkatan Tentera Malaysia) di Malaka, Malaysia, Sabtu (3/4). Latihan bersama Darsasa-7AB (Darat, Samudera, Udara) tersebut dalam rangka kerjasama penanggulangan terorisme yang dilaksanakan oleh Pasukan Khusus TNI AL Derasemen Jala Mangkara (Denjaka), Detasemen-81 Kopasus TNI AD, Denbravo TNI-AU dengan Pasukan khusus dari Malaysia PASKAL-TLDM, PASKAU-TUDM serta Gerakhas-TDM. FOTO ANTARA/Abdul Azis/Haq/pd/10.

04 April 2010, Jakarta -- Pengamat pertahanan dan politik luar negeri dari Universitas Parahiyangan Bandung, Andreas H. Pareira, mengatakan, adalah tidak adil jika kasus Gayus Tambunan dipakai sebagai alasan untuk menghentikan program remunerasi di lingkup TNI.

"Jangan kaitkan remunerasi TNI dengan kasus Gayus Tambunan sebagaimana dilansir sebuah media televisi di Jakarta Jumat malam (2/4)," katanya kepada ANTARA, mengutipkan pernyataan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro di televisi itu.

"Sekedar `background`, remunerasi di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) termasuk TNI baru dimulai tahun 2010 ini. Itu pun setelah melalui upaya perjuangan panjang sejak tiga tahun yang lalu," ungkap mantan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan pada periode 2004-2009 lalu itu.

Dia menjelaskan, ketika pada 2007 Menteri Keuangan berencana memberikan remunerasi ke beberapa lembaga negara sebagai `pilot project`, Komisi I DPR RI menginginkan Kementerian Pertahanan juga dimasukkan.

"Kami pertanyakan itu, mengingat berat dan tingginya risiko tugas para prajurit TNI. Akhirnya, setelah dua tahun Komisi I DPR RI ngotot, barulah tahun lalu rencana remunerasi di lingkup Kemenhan disetujui," ungkapnya.

Andreas Pareira menyatakan, tidak relevan dan tak adil jika gara-gara seorang Gayus Tambunan yang dituduh `memanipulasi pajak, lalu reformasi birokrasi itu dibatalkan.

"Ingat, Gayus Tambunan yang PNS peringkat pelaksana ini, sudah menikmati remunerasi di lingkup Kemenkeu (Ditjen Pajak), dan menerima `take home pay` sebesar Rp12juta, dari instansi `basah` pula," ujarnya.

Kondisi sangat berbeda, menurutnya, terjadi di lingkup TNI yang hingga kini masih menghadapi banyak sekali keprihatinan, mulai dari kondisi barak serta asrama prajurit tak layak huni sehingga tingkat kesejahteraan TNI rendah.

"Lihat saja kasus beberapa janda eks prajurit yang rumahnya mau di`beslag` pegadaian, atau para purnawirawan yang terpaksa kena gusur di mana-mana. Itu menunjukkan situasi sangat bertolakbelakang dengan apa yang dialami PNS di Kemenkeu, terutama Ditjen Pajak, tempatnya si Gayus itu," katanya.

Dia berharap kasus Gayus Tambunan tidak membatalkan remunerasi di lingkup Kemenhan, termasuk TNI.

"Yang perlu dilakukan dan dievaluasi adalah merancang sistem yang bisa sesuai antara remunerasi dan peningkatan kinerja, dan peningkatan output, sehingga gaji naik diimbangi dengan kinerja prajurit TNI yang juga menjadi lebih baik," demikian Andreas.

ANTARA News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar