Senin, 31 Agustus 2009

Intelijen Diperkuat Deteksi Terorisme

Menko Polhukam Widodo AS (2 kiri) bersama (dari kiri) Mendagri Mardiyanto, Kapolri Jenderal Bambang H. Danuri, Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso mengikuti rapat kerja dengan Komisi I di gedung DPR, Jakarta, Senin (31/8). Rapat kerja Komisi I dengan Menteri Polhukam beserta para menteri dan jajaran terkait tersebut membahas soal ancaman terorisme terhadap keamanan negara beserta upaya pencegahan dan pemberantasannya. (Foto: ANTARA/Widodo S. Jusuf/ed/09)

1 September 2009, Jakarta -- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat mengamandemen Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme agar penanganan teror yang makin kompleks berjalan maksimal dan efektif.

Kesepakatan itu dicapai dalam rapat kerja jajaran Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) dengan Komisi I (Bidang Pertahanan) DPR di Jakarta, Senin (31/8).

Pertemuan yang dipimpin Ketua Komisi I Theo L Sambuaga itu dihadiri Menteri Koordinator Polhukam Widodo AS, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Djoko Santoso, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar.

Widodo menyambut baik dukungan politik legislatif. Pemerintah segera mengajukan draf revisi. "Optimalisasi pelibatan semua komponen bangsa sudah mendesak," katanya.

Menurut dia, focus revisi itu adalah penguatan peran intelijen dan kepolisian, "Tanpa mengabaikan partisipasi masyarakat."

Widodo mengatakan penyempurnaan mesti dilakukan mengingat orientasi utama pembentukan undang-undang hanya memberikan payung hukum pemberantasan teror sebagai respons bom Bali I. Saat itu, titik beratnya pada penindakan, padahal pencegahan juga harus dipayungi.

Dia menyoroti pentingnya peran intelijen untuk deteksi dini. Selama ini BIN dan TNI telah mendukung polisi untuk menguatkan operasi intelijen. Namun, belum ada ruang gerak yang cukup. "Mau melangkah dimarahin orang," katanya.

Kepala Desk Antiteror Kementerian Polhukam Ansyaad Mbai menjelaskan, intelijen masih terpasung. Salah satunya, Pasal 26 Undang-Undang Terorisme menyatakan laporan intelijen hanya dapat digunakan sebagai bukti permulaan. "Di banyak negara intelijen bisa jadi alat bukti dalam peradilan," katanya.

Rencana perubahan lain menyangkut periode penahanan. Jangka waktu 7x24 jam tidak cukup, pasalnya pengungkapan jaringan terorisme butuh waktu lama. Kementerian Polhukam mengusulkan masa penahanan minimal dua tahun, seperti di Malaysia dan Singapura. "Negara sekeliling punya hukum kuat, masa Indonesia lembek," kata dia.

Widodo menambahkan, pihaknya juga mengkaji keberadaan Desk Antiteror. Ketika dibentuk tahun 2003, desk ini dianggap bisa mewadahi kepentingan koordinasi. Namun, pengalaman riil di lapangan menunjukkan lembaga yang bersifat koordinatif tidak cukup. "Perlu ada kelembagaan yang punya otoritas langkah operasional."

Theo mengatakan, Komisi I memandang perlu menguatan aspek preventif, khususnya pelibatan masyarakat secara optimal sesuai ketentuan hukum. Pemerintah diminta mengajak masyarakat mencegah berkembangnya ajaran sesat yang mengembangkan radikalisme. "Berikan informasi dini yang mungkin terlihat di sekitarnya," kata politikus Partai Golkar itu.

Komisi I memandang perlu diterbitkan regulasi guna memudahkan pelaksanaan di lapangan, termasuk keputusan politik terkait perbantuan TNI pada Polri. Sejumlah anggota Komisi I mendesak dibuat aturan penjabaran pelibatan TNI untuk membantu penanganan terorisme.

Effendy Choirie dari Partai Kebangkutan Bangsa menilai, secara norma, payung hukum pelibatan TNI sudah diwadahi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme dan Undang-Undang TNI. Namun, penjelasannya belum rinci. "Kondisi ini membuat militer gamang," katanya.

Pupung Suharis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Hajrianto Tohari asal Partai Golkar mengusulkan instruksi Presiden untuk pelibatan seluruh komponen bangsa, termasuk militer.

Widodo mengakui diperlukan petunjuk lebih tepat. "Perlu ada buku petunjuk tentang pelibatan," ujarnya. Sebab, TNI hanya bisa terlibat pada hal-hal khusus, berdasar eskalasi dan skalanya. Misalnya, penyanderaan di kapal laut, pesawat, atau daerah terpencil.

JURNAL NASIONAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar