(Oleh: H. USEP ROMLI. H.M., Pikiran Rakyat)
Seusai musim haji. Abdullah bin Mubarrak, seorang ulama termasyhur abad ke-12 (118 M/797 H) tertidur dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-cakap, “Ada enam ratus ribu jemaah haji tahun ini, Namun, tidak seorang pun yang mabrur, yang hajinya diterima,” kata malaikat yang satu.
“Ada, seorang. Walau pun tidak datang ke sini, tetapi Allah SWT berkenan memberinya ganjaran haji mabrur,” kata malaikat yang satunya lagi.
“Siapa dia?”
“Ali al Muwaffaq, tukang sepatu miskin di Damaskus.”
Abdulah bin Mubarrak terkejut. Begitu bangun, segera bersuci. Segera melaksanakan tawaf wada, dan segera berangkat ke Damaskus, ingin bertemu Ali al Muwaffaq. Ingin tahu, amal apa yang ia lakukan sehingga mendapat ganjaran haji mabrur tanpa datang ke Mekah. Padahal enam ratus ribu orang yang melakukan wukuf di Arafah, jumrah di Mina, dan rukun serta wajib haji lain, malah mardud. Tertolak hajinya.
Setelah Abdullah bersusah payang menempuh perjalanan Mekah-Damaskus, juga berkeliling ke seluruh pelosok kota bekas pusat Dinasti Umayyah (610-750 M) itu, akhirnya Ali al Muwaffaq dapat dijumpai. Sehabis mengucapkan salam dan istirahat sebentar, Abdullah memohon agar Ali al muwaffaq mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapat ganjaran haji mabrur tanpa mengikuti ritus haji di Mekah pada saatnya.
Semula Ali bungkam membisu. Namun, setelah terus didesak, akhirnya dia mau juga berbicara:
“Tiga puluh tahun aku menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat susah payah mengingat penghasilanku sebagai pembuat sepatu, amat minim. Tahun ini tabunganku genap 350 dirham. Cukup untuk sekadar bekal dengan cara menghemat dan sederhana. Nah, semalam sebelum keberangkatan, istriku yang sedang mengidam, mencium harum masakan dari rumah tetangga sebelah. Ia merengek-rengek agar aku memintanya sedikit saja dari hidangan yang menggiurkan itu.”
“Maka kudatangi rumah tetanggaku. Seorang janda miskin dengan tiga anak kecil-kecil. Kuketuk pintu, dan kuucapkan salam, sambil menerangkan maksud kedatanganku membawa keinginan dari istri yang sedang mengidam. Ia tampak terkejut, lalu berkata pelan.
“Saudara Ali, memang aku sedang memasak daging unta. Akan tetapi, itu hanya halal bagiku dan anak-anak. Bagimu dan istrimu haram.”
“Mengapa?” aku tak kalah terkejut.
“Kami sudah tiga hari tidak makan. Hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak di bawah rumpun. Kami kerat daging pahanya, dan kami masak, sekedar menghilangkan rasa lapar,” jawabnya.
“Mendengar itu, aku berlari pulang, kuambil uang 350 dirham untuk bekal haji. Kuberikan pada tetangga yang terpaksa memakan daging bangkai unta. Aku ingat sabda Rasulullah saw. yang mengatakan, tidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan. Biarlah aku tak jadi berhaji tahun ini, asal tetanggaku tertolong.” Ali al Muwaffaq mengkahiri kisahnya.
Abdullah bin Mubarrak menetesklan air mata, dan berguman. “Malaikat-malaikat itu telah berkata benar dalam mimpiku, dan Penguasa Alam Semesta benar-benar Mahaadil pertimbangan-Nya.
Sumber: “Kitab Tadzkiratul Aulia” Fariduddin attar (1110- 1220 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar