(Oleh A. HAJAR SANUSI. M. Ag., Pikiran Rakyat)
Bashrah adalah sebuah kota yang dalam perkembangan sejarah Islam menjadi terkenal lantaran di wilayah itu tumbuh dan berkembang gerakan tasawuf mazhab Khasyyah (takut). Hidup zuhud, untuk tidak dikatakan menolak kehidupan duniawi, merupakan bagian penting ajaran tasawuf mazhab ini. Oleh karena itu, tak heran ada suatu peristiwa berlangsung di kota itu.
Ketika itu yang menjadi Amirul Mukminin adalah Ali bin Abi Thalib. Sekalipun kesibukan menderanya setiap waktu, ia tidak pernah melupakan sahabat-sahabatnya. Bahkan, sesekali ia bertandang ke rumah mereka, sebagai upaya menjalin silaturahmi.
Salah seorang yang beruntung karena rumahnya dikunjungi, adalah al-‘Ala’ bin Ziyad al-Haritsi. Rumah al-‘Ala’ terbilang besar, dengan pekarangan yang luas. Maka tak heran kalau kemudian Imam Ali menegur gaya hidup sahabat yang satu ini.
Setelah bertegur sapa dan saling bertanya tentang kesehatan masing-masing. Imam Ali berkata kepadanya, "Apa sesungguhnya yang Anda kehendaki dengan rumah seluas ini di dunia, wahai sahabatku? Bukankah Anda lebih membutuhkan rumah seperti ini di akhirat nanti?"
Belum juga tuan rumah sempat menjawab, Imam Ali sudah melanjutkan dengan nasihat, "Namun, baiklah! Jika Anda ingin memperoleh kebahagiaan akhirat dengan rumah ini, hendaklah Anda lakukan tiga hal: Tuqri fiha al-dhayf {Menghormati dan menjamu tamu yang masuk rumah ini); Wa tashilu fiha al-rahim (Berbuat baik di dalamnya terhadap karib kerabat); Wa tuthli u minha al-huquq mathali’ aha (Anda menampakkan kebenaran yang harus ditampakkan)! Jika demikian halnya, Anda telah menjadikan rumah ini sebagai sarana meraih kebahagiaan akhirat!"
Al- ‘Ala’ bin Zirad al-Haritsi menyimak nasihat itu hamper kata demi kata. Ia tidak berusaha menyela sedikit pun. Yang demikian itu boleh jadi terhalang oleh rasa hormat terhadap Imam Ali, seorang pemimpin besar tetapi hidup dalam kesederhanaan.
Setelah Imam Ali selesai menyampaikan nasihatnya, baru kemudian al-‘Ala' berkata, " Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin mengadukan saudaraku, 'Ashim bin Ziyad kepada Anda.". "Memangnya kenapa? Apa yang telah dilakukan saudaramu itu?" tanya Imam Ali.
Al- ‘Ala’ lalu menjelaskan, "Saudaraku itu sekarang mengenakan pakaian aba 'ah (sejenis mantel terbuat dari bahan kasar, lazim dikenakan oleh penduduk dusun). Ia betul-betul telah meninggalkan kenikmatan hidup duniawi, ya Amirul Mukminin!" "Panggillah saudaramu itu kemari!" titah Imam Ali
Sebentar saja, ‘Ashim telah berada di hadapannya. Penjelasan al- ‘Ala’ tentang saudaranya itu benar juga. ‘Ashim tampil dengan pakaian yang dapat dikatakan nyaris compang-camping.
Kepadanya Imam Ali berkata, “Wahai musuh kecil dirinya sendiri! Sungguh engkau telah disesatkan oleh si jahat (setan). Tidakkah engkau menyayangi istri dan anak-anakmu? Apakah menurut sangkaanmu. Allah SWT telah menghalalkan segala sesuatu bagimu yang baik, lalu Dia tidak menyukaimu untuk menikmatinya?
‘Ashim, yang sejak kedatangannya diam, mulai angkat bicara. Ia mengedepankan alasan mengapa dirinya menjalani cara hidup demikian. Ya Amirul Mukminin! Hadza anta fi khusyunah malbasik wa jasyubah ma’kulik (Wahai Amirul Mukminin! Bukankah Tuan ini mengenakan busana kasar dan mengonsumsi roti yang kering (kurang halus) pula" demikian kilahnya. Tampak jelas, ‘Ashim ingin meniru pola hidup sederhana yang dipraktikkan Imam Ali.
Namun, dalam pandangan Imam Ali, cara berpikir ‘Ashim itu kurang tepat. Oleh karena itu. Imam Ali meluruskannya. "Ketahuilah Wahai ‘Ashim! Inni lastu kaannak (Sesungguhnya aku tidak seperti Anda. Dengan kata lain, aku adalah seorang pemimpin). Innallaha faradha ‘ala a’imnah al- ‘adl an yuqaddiru anfusahum bi dha afah al-nas. Kayla yatabayyagha bi al-faqir faqruh (Allah telah mewajibkan atas para pemimpin adil, agar mengukur diri mereka dengan keadaan hidup rakyatnya yang lemah sehingga orang-orang miskin tidak merasa risau dengan kefakirannya).
Demikian percakapan antara Imam Ali sebagai Amirul Mukminin dan sahabatnya. Keterangan itu mengantarkan kita sampai pada beberapa kesimpulan. Pertama, Islam tidak melarang seseorang mempunyai rumah megah, asal diperoleh dengan cara halal.
Namun, jika dengan rumah itu dirinya ingin mendapatkan pahala akhirat, pemiliknya dituntut menunaikan hak-hak rumah itu. Kedua, seorang anggota masyarakat biasa tidak terlarang menampakkan anugerah Allah dalam bentuk gaya hidup dengan selera masing-masing. Sepanjang itu tidak berlebih-lebihan dan tidak berseberangan dengan norma yang berlaku.
Ketiga, kesederhanaan adalah pola hidup yang niscaya bagi seorang pemimpin. Terlebih ketika kesejahteraan masyarakat belum terwujud secara merata. Atau, manakala sebagian besar rakyat masih belum lepas dari deraan kesulitan hidup. Namun, jika dalam kondisi seperti itu, pola hidup seorang pemimpin justru menunjukkan berseberangan, sejatinya yang bersangkutan sudah tidak layak menyandang sebutan pemimpin.
Mungkin gelar penguasa, untuk tak menyebut tiran lebih patut dilekatkan. Adalah hak siapa pun untuk percaya atau tidak, tetapi fakta sejarah mengatakan, pemerintahan yang dibangun atas dasar ketidakadilan, pelan tapi pasti, pasti runtuh.
Untuk itu, pendapat Ibn Taimiyah agaknya relevan untuk dikedepankan. Dalam salah satu karya intelektualnya, al-Amr bi al-Ma ‘rufwa al-Nahy ‘an al-Munkar, pakar keislaman yang dianggap Bebagai pelopor gerakan muhyi atsar al-salaf ini mengatakan, Innallaha yuqim al-dawlah al- ‘adilan wa in kanat kafirah. Wa Ia yuqim al-zhalimah wa in kanat muslimah (Sesungguhnya Allah akan mempertahankan tegaknya suatu pemerintahan adil meskipun ia kafir. Dan Allah SWT tidak akan membiarkan pemerintahan zalim terus berdiri, meskipun berada di tangan kaum Muslim)
Oleh karena itu. waspadalah wahai para pemimpin! jangan sampai turun kedudukan tanpa penghormatan, apalagi disusul sumpah serapah rakyat. Bersikap adil dalam memimpin, adalah solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar