(Oleh: A. HAJAR SANUSI. M. Ag., Pikiran Rakyat)
Dalam salah satu syairnya, Muhammad Iqbal menggambarkan kepribadian Rasulullah saw. sebagai berikut: Sungguh hati Muslim dipatri cinta Nabi / Dialah pangkal mulia Sumber bangga kita di dunia / Dia tidur di atas tikar kasar / Sedangkan umatnya mengguncang takhta Kisra / Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga / Sementara umatnya tidur di ranjang raja-raja.
Bait-bait di atas melukiskan zuhud Rasulullah saw. kebersahajaan dalam kehidupan duniawi memang merupakan atribut Rasulullah saw. yang sangat mengemuka. Namun, istilah zuhud kerap disalahpahami. Tidak jarang orang memahaminya sebagai pola hidup yang menolak secara total pelbagai hal yang berkaitan dengan dunia. Tengok misalnya sebagian pengamal tasawuf. Ada diantara mereka yang mengasingkan diri, hidup dalam ribat-ribat di daerah terpencil, jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Mereka tidak hirau lagi dengan masalah keduniawian. Sebab, menurut mereka, dunia tidak sekadar bernilai rendah dan kotor, tetapi juga dianggap sebagai penghambat jalan spiritual menuju keridaan Allah SWT.
Padahal, hidup zuhud tidak mesti begitu, bahkan, yang demikian itu sudah pasti tidak dibenarkan Islam. Bukankah agama yang satu ini mengajarkan kesimbangan (ekuilibrium) antara dunia profan dan sakral? Bukankah Alquran –sebagai sumber utama ajaran Islam— menitahkan manusia untuk berdoa agar memperoleh kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat?
Jika demikian halnya, apa sejatinya hidup zuhud itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, elok jika kita simak pendapat Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah. Menurut sahabat yang satu ini, “Keseluruhan sifat zuhud terletak diantara dua kalimat dalam Alquran, yaitu QS. Al-hadid/57:23), yang berbunyi. Likaylaa ta’saw’alaa maa faatakum wa laa tafrahuu bimaa aataakum…(Agar kamu tidak berdukacita atas apa yang luput darimu dan tidak bersukaria atas sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu). barang siapa yang tidak berdukacita atas sesuatu yang telah pergi dan tidak bersukaria karena sesuatu yang datang, maka sesungguhnya dia telah mencakup sifat zuhud dalam arti yang sebenarnya.
Dalam kesempatan lain, Ali bin Ali Thalib mendefinisikan zuhud dengan kalimat, Anta tamliku-d dunyaa wa laa tamlikuka (engkau memiliki dunia, tetapi dunia tidak pernah menguasaimu). Dalam pengertian inilah kita pahami sifat zuhud Rasulullah saw.
Tiga orang empu Hadis, Bukhari, Ahmad, Ibn Majah meriwayatkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khattab bertamu ke rumah Rasulullah saw. sahabat sekaligus mertua itu mendapatkan beliau sedang duduk di atas tikar kasar dan tua. Mata Umar lantas mengamati isi ruangan, tempat ia bertemu dengan manusia agung itu. Umar tidak menemukan sesuatu apa pun, kecuali yang disaksikannya, yakni tas kulit yang tergantung di dinding (untuk menympan beberapa genggam gandum) dan sehelai tikar yang hampir koyak itu. Saat itu, Umar tak kuasa menahan tangis. Melihat Umar menangis, Rasulullah saw. bertanya, “Limaadzaa tabki, ya Ibnu-l khaththaab (Mengapa engkau menangis wahai putra Khattab)?” Sambil terisak, Umar menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah! Bukankah tikar tempat duduk Anda ini sudah begitu tua. Lagi pula, Anda tidak menyimpan sesuatu pun, kecuali yang aku saksikan saat ini. Sementara di negeri sana, Kaisar (Raja Romawi) dan Kisra (penguasa Persia) –sambil bersemayam di atas singgasana—mereka menghadapi hidangan serta buah-buahan yang lezat, lengkap dengan perangkat hidup serba mewah. Padahal bukankah anda ini, ya Rasulullah, seorang utusan dan kekasih-Nya?” Rasulullah saw. menenangkan Umar dengan berkata, “Afiya syakkun, anta ya Ibnu-l khaththaab? Ulaaika qawmun ‘ujjilay lahum thayyibatahum fi-l hayaata-d dunya (Apakah engkau masih ragu tentang diriku, wahai putra Khathab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan balasan atas kebajikannya dalam kehidupan di dunia ini)”.
Demikian pola hidup Rasulullah saw. Jika mau, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadanya untuk diubah jadi bongkahan emas, tetapi ditolaknya. Dengan kata lain, meskipun kunci kekayaan berada di tangan, Rasulullah saw. tetap hidup bersahaja. Inilah dia: Pemimpin besar yang tidur di atas kasar. Sebuah model par excellence.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar