(Oleh: Hj. NUNUNG KARWATI, Pikiran Rakyat)
Hakim bin Hizam adalah seorang musyrik yang mendapat jaminan keselamatan dari Rasulullah saw. pada penaklukan Kota Mekah. Meskipun ia kemenakan Khadijah binti Khuwaylid, istri Rasul, keislamannya baru dia raih dua puluh tahun kemudian saat Rasulullah menaklukan Kota Mekah.
Hakim lantas bertekad untuk menebus segala dosa yang pernah dia perbuat semasa hari-hari jahiliahnya serta apa pun yang pernah dia lakukan untuk menentang Rasulullah. Dia ingin menebusnya demi kemuliaan Islam.
Salah satu yang dilakukannya adalah menjual bangunan bersejarah di Mekah bernama Barun-Nadwah. Di tempat itu, biasanya para pemuka Quraisy berkumpul dan berdiskusi tentang banyak hal. Mereka pun banyak membuat rencana jahat terhadap Nabi Muhammad saw. di sana.
Hakim memutuskan untuk menjual bangunan ini untuk menghapus kenangan kelam masa lalu. Dijualnya bangunan tersebut seharga 100.000 dirham dan dia mendermakan hasilnya kepada fakir miskin.
Pada suatu musim haji. Hakim menggiring seratus ekor unta dan menyembelihnya sebagai kurban. Tahun berikutnya, ia membawa dan membebaskan seratus hamba sahaya yang masing-masing dibekali perhiasan perak. Tahun berikutnya, ia membawa 100.000 ekor kambing yang disembelih di Mina dan membagi-bagikan dagingnya pada fakir miskin.
Hakim memang amat dermawan, tetapi juga selalu ingin mendapatkan lebih. Seusai Perang Hunain, dia meminta sejumlah pampasan perang kepada Rasul dan permintaanya dipenuhi. Beberapa hari kemudian dia meminta lagi, dan Rasul kembali memberikannya. Untuk ketiga kalinya, hakim datang meminta bagian, Rasul pun kembali memenuhinya sehingga Hakim mendapat papmasan perang dalam jumlah cukup banyak.
Namun ketika memberikan pampasan perang, kali ini Rasul memberikan nasihat yang sangat berkesan dihatinya, ‘Wahai Hakim! Segala harta benda ini amatlah menarik. Barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang lapang, ia akan diberkahi. Dan barang siapa mengambilnya dengan jiwa yang sempit. Dia akan seperti orang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang. Tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah’.
Petuah Rasul itu sangat membekas di hatinya. Dia merasa tersentuh dan berjanji kepada Rasul untuk menjaga harga diri dari harta orang lain. Bahkan ia berjanji untuk menjaga kehormatannya dari meminta sesuatu kepada siapa pun. Ia pun berkata kepada Rasul, “Ya utusan Allah, aku tidak akan meminta kepada siapa pun sepeninggal Engkau dan tidak akan mengambil sesuatu pun dari siapa pun”.
Sejarah mencatat. Hakim benar-benar menepati ucapannya. Sehabat Rasul ini tidak pernah meminta apa pun kepada orang lain hingga dia meninggal dunia. Bahkan ketika cambuknya jatuh sementara ia berada di atas punggung kudanya, ia turun untuk mengambilnya, meski ia bisa menyuruh pegawai untuk mengambilnya.
Andaikan petuah Rasulullah kepada Hakim itu dicamkan baik-baik, maka di negeri ini tidak akan pernah ada korupsi. Sebab, hakikatnya, korupsi adalah mengambil harta dengan jiwa yang sempit sehingga tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Alih-alih diberkahi, justru pelakunya harus mendekam dipenjara. Itu adalah azab dunia. Audzubillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar