Jumat, 24 Februari 2012

Poyok Ungkal, Kreativitas Tradisional

Kebiasaan berkomentar masyarakat Ungkal (Desa Ungkal, Kec. Conggeang, Kab. Sumedang) sudah dikenal sejak lama, bahkan menjadi perhatian dan sesuatu yang membuat penasaran, terutama bagi masyarakat di luar Ungkal. Mereka umumnya penasaran seperti apa Poyok Ungkal itu. Salah seorang di antaranya adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Drs Dede Kosasih, MSi. Dalam tesisnya, Dede yang menyelesaikan pendidikan S-2 di Jurusan Sosiolagi-Antropologi Unpad memilih tema budaya poyok masyarakat Ungkal.

Dede yang mengaku berasal dari Desa Legok, Kab. Sumedang, sejak kecil sudah sering mendengar istilah Poyok Ungkal. “Namun. Waktu itu saya tidak tahu bagaimana poyok Ungkal itu. Paling-paling orang tua suka berkata, “Ih cegekan siga urang Ungkal! (Segala dikomentari seperti orang Ungkal)!”

Namun, setelah melakukan penelitian Dede berpendapat, meski namanya Poyok Ungkal tetapi bukan berarti masyarakat Ungkal suka mengata-ngatai atau menghina. Menurut Dede, masyarakat Ungkal membedakan antara moyok atau poyok dengan moyokan. Kalau menghina atau mengata-ngatai istilah dalam bahasa Sundanya adalah moyokan. Sementara moyok atau poyok lebih merupakan kebinangkitan atau kreativitas orang Ungkal untuk menggambarkan apa yang akan dikomentarinya secara simbolis.

Warga Ungkal mengemukakan poyok-nya dengan menyamarkan maksud sebenarnya dengan nama benda atau peristiwa yang bersifat sama dengan yang dimaksudnya. “Jadi, semakin tinggi kecerdasan atau semakin banyak pengetahuan seorang warga Ungkal, poyok-nya juga semakin halus dan beragam,” tutur Dede.

Kendati demikian, Dede hanya bisa menduga-duga asal muasal Poyok Ungkal. Menurut perkiraannya, kebiasaan moyok boleh jadi berasal dari buyut warga Ungkal yang diduga adalah pelarian tentara Mataram. Sebagai seorang pelarian, logikanya dia harus menyembunyikan jati dirinya, sehingga semuanya harus disamarkan.

Dede memperkirakan hal itu dengan mempertimbangkan asal kata nama beberapa daerah/wilayah di sekitar Ungkal. Termasuk Ungkal. Desa Ungkal berbatasan dengan Desa Cacaban. Cacaban diduga berasal dari kata ceceg artinya nyecebkeun (membenamkan) yang bisaanya diterapkan kepada tanaman. “Menurut informasi, sawah tertua di Jawa Barat kan adanya di wilayah Conggeang,” ujar Dede.

Sementara Ungkal dalam bahasa Jawa berarti batu asahan. Dede menduga asahan itu menggambarkan warga Ungkal yang terus mengasah otak dan pikirannya untuk bisa mengungkapkan apa yang dimaksud agar tidak terkesan kasar atau to the point.

“Namun, semua itu hanya dugaan dan perkiraan saya, berdasarkan pertimbangan tertentu dan dikaitkan dengan peninggalan-peninggalan yang ada. Untuk pembuktian selanjutnya, diperlukan penelitan lebih dalam oleh ahli sejarah dara para pakar ilmu lain yang terkait,” Kata dede pula.

Dede setuju jika kebisaaan moyok masyarakat Ungkal dikategorikan sebagai budaya verbal. Namun, dia belum bisa berpendapat apakah budaya tersebut bisa dilestarikan (secara sengaja) atau tidak. Terlebih, bentuk pelestariannya pun belum terpikirkan. “Budaya ini unik. Orang, terutama di luar warga Ungkal, tidak bisa langsung mengerti Poyok Ungkal, diperlukan daya nalar tinggi atau pembiasaan yang cukup lama untuk bisa mengetahui atau mengerti adanya Poyok Ungkal dalam suatu percakapan. Jadi, tidak seperti Heureuy Bandung atau Sisindiran yang bisa lebih mudah dimengerti oleh lawan bisaca, “ujar Dede.

Pihak Pemerintah Sumedang pun sudah lama mengetahui kebiasaan yang ada di masyarakat Ungkal. “Saat ini kami baru melakukan pendataan dan pemilahan serta pengklasifikasi budaya-budaya yang ada di masyarakat Sumedang. Khusus untuk Poyok Ungkal, belum terpikirkan bagaimana bentuk upaya pelestariaanya,’ kata Ade Rohana, Kasi Kesenian di Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Sumedang.

Sumber: Yeni Endah Pertiwi/”Pikiran Rakyat”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar