Senin, 19 September 2011

Alumnus IPTN Bekerja di Boeing


19 September 2011 (Radar Banten): Dari 30-an orang Indonesia yang bekerja di Boeing, banyak yang menduduki posisi vital. Siapa saja mereka?

Mimpi buruk itu menghampiri Agu­ng H Soehedi seiring dengan ter­jadinya serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat. Pria kelahiran Te­manggung, Jawa Tengah, 8 Mei 1963 tersebut harus kembali ke­hi­langan pekerjaan.

Ya, tragedi yang menewaskan lebih da­ri tiga ribu jiwa itu membuat banyak orang menghindari transportasi udara. Aki­batnya, permintaan pesawat me­nurun drastis dan itu memaksa Boeing, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, Amerika Serikat, tem­pat Agung bekerja selepas dari IPTN (Industri Pesawat Terbang Nu­santara, kini PT Dirgantara Indonesia-red), mesti merumahkan banyak kar­yawan. Agung termasuk salah satunya.

Karena sudah membawa istri dan em­­pat anaknya boyongan ke Seattle, Agung pun mesti memutar otak untuk bertahan hidup. Alumnus Itenas, Ban­dung, yang keluar dari IPTN sebelum pabrik pesawat terbang satu-satunya di Asia Tenggara itu kolaps akibat krisis moneter, itu pun akhirnya rela bekerja apa saja untuk menafkahi keluarga.

Menjadi tukang cuci mobil, sopir shuttle bus, pengatur dan pembuat taman, tukang memperbaiki rumah, hingga mendirikan perusahan perumahan, semuanya pernah dia jalani. Nah, pada usaha terakhirnya itu Agung menemukan peruntungan. “Usaha saya dan partner maju,” katanya.

Tapi, tetap saja kesuksesan itu tak mampu meng­hapus kecintaan Agung kepada dunia aeronautika. Meski dua kali menga­lami pengalaman pahit, ketika pada 2006 Boeing menawarinya untuk bekerja lagi se­iring pulihnya pasar pesawat, Agung tak butuh waktu panjang untuk mengiya­kan. “Partner saya tak mau melepas, tapi saya bersikeras kembali ke Boeing,” ujarnya.

Pilihan itu terbukti tepat. Di industri pe­sawat yang didirikan William Boeing itu karir Agung terus menanjak, meski bis­nis bersama sang partner tadi tetap di­jalankan. Kini alumnus SMAN 3 Ban­dung tersebut menduduki jabatan struc­tural analysis engineer. Pesawat produksi Boeing yang pernah ditangani sektor stress analysis-nya adalah Boeing 737 dan Boeing 757.

Agung adalah satu di antara sekitar 30 orang Indonesia yang kini berkarir di Boeing. Mayoritas jebolan IPTN alias PT DI. Mereka tersebar di berbagai depar­temen. Bukan hanya di urusan teknis, tapi ada juga yang bekerja di bagian keuangan.

Dari ke-30 orang itu, tak sedikit pula yang menduduki posisi bergengsi atau berpengaruh karena skill yang mereka miliki. Agung, misalnya, ketika hendak dipindah ke pembuatan Boeing 777, dengan tegas menolak. “Saya bilang mau keluar kalau dipaksa pindah,” kisahnya. “Bos saya bilang, sama sekali tak ter­pikir­kan Anda keluar dari Boeing,” lanjutnya.

Itu menunjukkan kapasitas dan kualitas Agung yang sangat dihargai di Boeing. Sama halnya dengan Tonny Soeharto. Lulusan ITB 1982 itu menduduki posisi lead engineer-MB production support engineering Boeing 777. Pada pembuatan pesawat berbadan lebar untuk pener­bangan lintas benua yang sangat diminati pasar itu, Tonny dipercaya menjadi pim­pinan di salah satu bagian yang vital. “Tak terbayangkan kita orang Indo­nesia mem­bawahi orang-orang Amerika di Boeing. Alhamdulillah, itu bisa kami capai di sini,” kata Tonny dengan mata ber­kaca-kaca.

“Mereka respek dan menghargai ke­mampuan kita, orang Indonesia. Saya juga dengan bangga bilang sebagai alum­nus IPTN,” lanjut pria yang mem­persunting gadis asal Bangkalan, Madura, itu.

Agung dan Tonny memang sama-sama mengakui bahwa apa yang mereka capai saat ini tak lepas dari latar belakang pengalaman mereka di IPTN. Bekerja di perusahaan yang identik dengan mantan Pre­siden BJ Habibie itu sangat berjasa dalam pembentukan kualitas dan ka­pa­bilitas. Dengan kata lain, IPTN telah menempa mereka hingga memiliki kualitas dunia untuk bidang teknologi pembuatan pesawat. “Di sini (Boeing), menyebut IPTN tidak meragukan. Memudahkan untuk diterima,” kata Agung dan Tonny yang ditemui di tempat terpisah di Seattle.

Bukan alumnus IPTN pun tak kalah mem­banggakan prestasinya. Misalnya, Bramantya Djermani. Dia kini menjadi satu-satunya orang Indonesia yang terlibat dalam pembuatan pesawat Boeing tercanggih, Boeing 787 Dreamliner.

Dreamliner menggunakan bahan dasar komposit. Pesawat itu paling ringan di antara semua jenis pesawat komersial yang pernah ada dan paling hemat bahan bakar. Meski belum dilepas ke pasaran, pesanan kepada Boeing sudah menum­puk, mencapai 800-an. “Untuk saat ini masih dalam tahap persiapan,” kata Bram yang langsung bekerja di Boeing be­gitu lulus dari University of Foledo, Ohio.

Dalam pembuatan pesawat berjuluk Boeing Next Generation itu, Bram me­me­gang jabatan industrial engineer. “Saya berusaha menjalankan tugas de­ngan sebaik-baiknya. Untuk karir saya, dan mudah-mudahan menyumbang bagi nama baik Indonesia,” katanya.

Atas kemampuan masing-masing, orang-orang Indonesia di Boeing rata-rata sudah hidup mapan di negeri Paman Sam. Gaji pokok mereka berkisar USD 200.000 per bulan (sekitar Rp 1,86 miliar). Itu belum termasuk tunjangan dan penghasilan tambahan lain-lain.
Agung, contohnya, punya dua rumah yang megah. “Rumah saya seperti jadi tempat berkumpul mahasiswa asal In­donesia dan tempat penitipan barang-barang mereka,” katanya saat menjamu penulis di salah satu rumahnya di ka­wasan Way, Kent, Washington.

Tonny juga sudah berhasil menuntaskan kuliah anak tertuanya di University of Washington (UW), Seattle. Si sulung yang beristrikan perempuan Vietnam itu kini mengikuti jejak ayahnya sebagai engineer. Anak kedua memilih jurusan arsitek di perguruan tinggi yang sama. “Alhamdulillah, kami juga terus berusaha mem­bantu siapa saja anak Indonesia yang kuliah di sini (Seattle dan sekitar­nya),” ujar Tonny.

Di luar Agung, Tonny, dan Bram, masih ada Kholid Hanafi yang berada di bagian pembuatan Boeing 737 dan Maurita Sutedja yang berkarir di departemen ke­uangan. Sulaeman Kamil, mantan direktur teknologi IPTN dan pernah menjadi asisten Menristek, kepala BPPT, juga bekerja di Boeing. “Intinya, kami semua bangga,” kata Bram. “Kami mem­buktikan bahwa orang Indonesia tidak kalah dengan warga Amerika atau bang­sa-bangsa lain di dunia,” lanjutnya.

Namun, di balik kebanggaan itu juga tersembul kegundahan. “Sedih karena semua kemampuan iptek yang kami mi­liki tak bisa dikembangkan atau dipakai di Tanah Air,” kata Tonny.

“Potensi dan kemampuan anak-anak Indonesia tak kalah. Sayang ndak bisa diaplikasikan di Tanah Air. Tidak ada ruang dan wadah yang cocok bagi pe­ne­rapan dan pengembangan teknologi dir­gantara di Indonesia,” tambah Bram.

Kalau saja IPTN tak kolaps dan konsistens mengem­bangkan produksi seperti CN315, N250, dan N2130, Agung yakin perusaha­an pelat merah itu akan menguasai pasar yang kini dikangkangi ATR. ATR adalah anak perusahaan saingan Boeing, Airbus, yang bermarkas di Toulouse, Prancis.

Sumber: Radar Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar