Kamis, 03 Februari 2011

Poyok Ungkal Layak Jadi Pertunjukan Hiburan

Kebiasaan masyarakat Ungkal, Kec. Conggeang, Kab. Sumedang yang suka popoyok (nyindir) terhadap kaum pendatang telah dianggap budaya. Karena itu, sudah sepantasnya poyok ungkal dikembangkan menjadi pertunjukan hiburan.

"Seperti berbalas pantun, itu 'kan tradisi masyarakt Melayu yang telah menjadi sebuah hiburan. Kenapa tidak poyok ungkal juga dikemas untuk jadi pertunjukan, tidak sekadar cemoohan untuk masyarakat Ungkal saja," cetus pemerhati budaya Wahyu Margana ketika ditemui di Desa Cikeruh, Kec. Jatinangor, Kab. Sumedang, Sabtu (16/10).

Untuk merealisasikan hal tersebut, Wahyu akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait baik pemerintah daerah, masyarakat Ungkal hingga para pendidik di sekolah-sekolah agar mereka mengapreasiasi kebudayaan tersebut.

"Kalau kita kemas dalam sebuah pertunjukan di sekolah tentu akan menghibur. Manfaat lainnya juga untuk melatih siswa dalam berkomunikasi serta kreatif mencari kalimat cemooh yang cepat dan tepat untuk disampaikan," usulnya lagi.

Ia menjelaskan, poyok ungkal merupakan kebiasan mencemooh orang luar atau tamu dari penampilan maupun secara fisik. Kata-kata cemoohan itu tanpa memandang pekerjaan, tempat, dan waktu.

"Poyok ungkal diucapkan setelah mereka melihat bentuk fisik, perlengkapan, atau perilaku yang menurut mereka menarik untuk dicemooh dengan tujuan iseng. Faktor fisik merupakan faktor yang paling banyak dijadikan bahan cemoohan," kata Wahyu.

Kalimat cemoohan menggunakan gaya bahasa metafora dengan tujuan menyindir (ironi). Konsep penciptaan poyok ungkal umumnya diambil dari lingkungan yang mereka kenal, seperti hewan ternak, hama, palawija, dan perlengkapan pertanian.

Pesan sesungguhnya dalam poyok ungkal, lanjut Wahyu, sengaja disamarkan dengan metafora sehingga sebagian besar komunikan tidak atau terlambat memahaminya. "Misalnya 'Cabe di kebon geus arasak yeuh', itu untuk menyindir orang yang pakai baju merah menyala. Atau 'Eta buruan meni geus barala, cik atuh geura sapuan', sindiran bagi orang yang berjanggut tebal. Ada juga yang moyok cara berbusana seseorang. Seperti 'Usum hujan mah oray di sawah teh barijil nya'. Nah, itu kalimat sindiran bagi mereka yang berdasi," katanya.

Meski dicemooh, sambung Wahyu, orang yang jadi bahan cemoohan tidak tersinggung. "Karena dia tidak tahu ucapan itu ditujukan untuk siapa. Lagi pula poyokan itu hanya dimengerti oleh sesama masyarakat Ungkal. Orang lain pasti hanya senyum-senyum tanda tidak mengerti atau diam sama sekali lantaran tidak paham apa yang dikatakan," paparnya.

Ditambahkan, kegagalan komunikasi (noise) ini memang sengaja dan ciri dari poyok ungkal. "Poyok ungkal merupakan warisan budaya yang dikuasai penduduk Ungkal secara alami dari pergaulan hidup sehari-hari di desanya. Penduduk Ungkal belum pernah menggunakan kata-kata cemooh dalam bahasa Indonesia dan mengaku akan mengalami kesulitan bila bercemooh dalam bahasa Indonesia," ujarnya. (B.48)**


Ssumber: http://www.klik-galamedia.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar