Dalam berbahasa, masyarakat Sunda wilayah Priangan, sering dianggap teu tegel, tidak biasa menyatakan sesuatu secara ceplak pahang, poksang atau togmol (langsung pada sasaran yang dimaksud). Dalam mengutarakan maksud dan tujuannya, mereka cenderung menggunakan ungkapan yang malibir atau malapah gedang, supaya tidak nerag, yang berakibat menyinggung perasaan yang diajak bicara.
Representasi dari fenomena malibir itu akan kita temukan di masyarakat Ungkal Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun sayang, kebiasaan malibir ini sering disalahtatsirkan teruatama oleh pihak diluar dengan label “negatif” yakni: poyok atau cegek. Mungkin mereka (orang luar) memaknai poyok berdasarkan arti kamus, yakni sebagai ungkapan yang berisi hinaan atau nyawad (menyindir), sehingga dikenal dengan poyok/cegek Ungkal. Akibatnya masyarakat Ungkal sering dicap sebagai suatu komunitas yang suka membuat gara-gara.
Justru yang bikin gara-gara itu pada dasarnya adalah orang luar itu sendiri yang bertanya tentang keberadaan poyok tersebut. Bagi orang Ungkal pertanyaan itulah yang bikin gara-gara “ngusik-ngusik ula mandi, ngagugahkeun macan turu” (menggangu ular yang sedang mandi dan membangunkan macan tidur) yang artinya memancing sehingga bangkit amarahnya. Maka jangan aneh bila ada yang bertanya pasti akan “dibekelan” poyok. Objek yang di-poyok-nya itu tidak akan pandang bulu, apakah rakyat atau pejabat, dari yang mahiwal hingga yang normal., pria maupun wanita, nu kasep atau nu goring, mereka akan dibekelan secara mereta.
Masyarakat Ungkal sebenarnya merupakan suatu komunitas yang mengedepankan harmoni, toleran, dan saling menghargai sesama, baik sesama warga termasuk terhadap pendatang. Namun akibat kuatnya opini negatif tersebut, sikap-sikap yang baik itu seolah-olah terhapus begitu saja, menyebarkan wacana negatif di kawasan Sumedang dan sekitarnya tentang poyok Ungkal itu diindikasikan karena perbedaan persepsi mengenai konsep poyok itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku yang dianggap pewaris aktif (active bearer) poyok Ungkal, diperoleh keterangan bahwa konsep poyok/moyok harus dibedakan dengan konsep moyokan.
Bagi masyarakat Ungkal, konsep poyok adalah satu bentuk kreativitas tradisonal yang menggambarkan apa yang dikomentarinya secara simbolis, dengan maksud untuk kepentingan “mengasah” (menguji) seseorang, seberapa surti (paham) yang di-poyok mampu memaknainya. Ada kebanggan tersendiri dengan kemahiran poyok tersebut, karena bagi mereka kemahiran dengan memainkan kata dengan diksi yang nyamuni pertanda orang itu memiliki “kecerdasan” tinggi. Dalam pandangan mereka konsep poyok/moyok itu identik dengan kesenian Sunda, seperti halnya sisindiran (pantun) maupun wawangsalan (pantun 2 baris). Sedangkan istilah atau konsep moyokan mempunyai pengertian menghina dan biasanya diekspresikannya secara ceplak pahang (langsung), seperti lewat kata Si Beke (Si Cebol), Si Jeding (si Bibir Tebal), Si Leststreng (Si Hitam Legam), dsb.
Munculnya poyok biasanya secara spontan, spontanitas itu sebagai respons terhadap stimulus berupa pertanyaan, maka secepat kilat orang yang ditanya itu akan menelisik kekurangan atau “kelebihan” yang ada dalam penampilan (fisik) termasuk cara berpakaian di penanya (pendatang). Menururt Allan dan Burridge (1991) kebiasaan itu merupakan gejala disfemisme (dysphemisme).
Gaya sindiran orang Ungkal memang berbeda dengan gaya pada umumnya, poyok-nya menggunakan diksi dengan analogi yang memiliki kesan harfiah “jauh” dari objek yang disindirnya, terutama bagi orang yang tidak surti (paham). Objek sindirannya biasanya sangan tersembunyi karena bersifat metaforikal (kiasanan), mirip dengan teka-teki. Akibatnya, tidak sedikit orang disindirnya tidak bereaksi apa-apa karena tidak sadar atau kurang “paham” terhadap makna sindiran tersebut. Makna sindirannya mungin tidak akan pernah terpamahi atau baru terkuak beberapa waktu kemudian setelah dipikirkan secara mendalam adan/atau mungkin dikonfirmasikan dengan \warga masyarakat setempat. Ketika maknanya terungkap, baru si tersendir tereprangah dan sadar bahawa ia telah kena sindir. Sebagai bentuk folklor, makan sindiran yang terkuak itu dapat sangan menyakitkan, nyelekit kana ati, nyentug kana jajantung (menyentuh relung hati yang paling dalam). Menurut Danandjaja (1994), hal yang utama dari folklor itu mengungkapkan kepada kita, baik disaadari atau tidak, bagaimana folkjnya berpikir. Selain itu, folklor juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting (dalam suatu waktu) oleh folk pendukungnnya.
Apakah orang Ungkal sendiri suka saling poyok? Tentu saja. Poyok itu biasanya muncul dalam suasana informal, terutam saat warga berkumpul dan ngobrol bersama dalam pertemuan dengan suasana santai, seperti warung kopi, saat berkumpul di depan sebuah rumah, gardu ronda atau saat menunggu giliran di tempat pemandian umum, dsb. Bila sudah saling poyok suasana biasanya akan menjadi cair dan akrab, penuh gelak tawa. Dari kebiasaan moyok itu sampai saat ini belum terdengar adanya dapamak buruk.
Pengungkapan makna moyok Ungkal dapat ditelusuri melalui simbol (analogi) suatu cara yang lazim digunakan oleh pemakai ( si pe-moyok) agar maksud dari poyok itu tidak kasar (nerag/neuhak). Lebih jauh lagi, si pe-moyok memberikan semacam “PR” untuk menguji kecerdasan apakah si ter-poyok memahami maksud dan makna poyok-an, termasuk mampu menimpalinya.
Ditinjau dari unsur kesejarahan, sulit ditentukan atau dilacak, kapan dan siapa yang memulai serta mengapa tradisi moyok muncul di Desa Ungkal ini. Ketika dicoba ditalenteng, pada umumnyya masyarakat menyatakan tidak tahu. Mereka cukup dengan mengatakan tos kitu bae ti dituna! Naum bila melihat artefak berupa kuburan kahot (tua) yang ada di tengah-tengah desa tersebut akan ditemukan nisan dengan nama: Mbah Puragati, Mbah Jerad, Mbah Rangit, Mbah Nayapatra, Mbah Karapyak, Mbah Lebe, Mbah Gombak, Mbah Nyi Mas Gedeng Larang Tanjung Bang, dan Mbah Raden.
Kita hanya menduga dengan mengidentifikasi nama-nama itu, jangan-jangan mereka yang dipemdem di dalamnya merupakan pelarian tentara Mataram yang bersembunyi. Logikanya, mereka sebagai pelarian tentu harus pintar menyembunyikan jati diri, sehingga semua ahrus serba simbolis (disamarkan). Kemudian bila kita menelusuri kata ‘ungkal” ternyata berasal dari bahasa Jawa dari kata “wungkal” yang berarti batu asahan. Oleh karena itu, besar kemungkinan munculnya moyok/poyok tujuannya untuk “mengasah” (menguji) seseorang sesuai dengan arti ungkal itu sendiri. Seberapa surti (paham) yang dipoyok mampu memaknainya. Cag!**
Sumber: Dede Kosasih, Lektor Kepala pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI Bandung/”Pikiran Rakyat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar