TNI AU akan menerima satu skuadron T-50 dari KAI, Korea Selatan untuk menggantikan MK-53. (Foto: Lockheed Martin)
1 Februari 2012, Jakarta: Kementerian Pertahanan akan mengoptimalkan pinjaman dalam negeri untuk pembelian alat utama sistem senjata karena selama ini lebih banyak menggunakan utang luar negeri.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan Brigjen TNI Hartind Asrin di Jakarta, Rabu mengatakan, pihaknya melalui "High Level Committe" (HLC) akan melakukan pembicaraan mendalam dengan Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan pinjaman dalam negeri yang digunakan bagi pembelian alutsista.
"Utang luar negeri lebih banyak digunakan dibandingkan pinjaman dalam negeri. Hal ini disebabkan masih banyaknya alutsista yang harus dibeli dari luar negeri karena Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) dan Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) belum mampu memproduksi alutsista yang dibutuhkan TNI," kata Hartind.
Ia mencontohkan, pembuatan tank di Indonesia baru bisa untuk kelas ringan seperti Panser Anoa, sedangkan tank berukuran berat seperti Leopard masih harus dibeli dari luar negeri.
"Itu pun kita membeli dengan syarat 'Transfer of Technology' (ToT) karena kalau kita beli dalam negeri, tidak dijual," katanya.
CSIS Nilai Wajar Pembelian Alutsista Pakai Utang Luar Negeri
Pengamat pertahanan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Alexandera Retno Wulan, menilai tingginya utang luar negeri dalam pengadaan alat utama Sistim Persenjataan sebagai hal yang wajar. Menurutnya hal ini harus dilakukan karena ketidakmampuan industri pertahanan nasional dalam memproduksi alutsista modern. "Alutsista modern produksi dalam negeri memang belum ada,"kata Alexandera di Jakarta, Rabu (1/2).
Menurutnya, utang luar negeri ini digunakan untuk membeli Alutsista karena pengadaan alutsista yang dilakukan pemerintah dilakukan dengan mekanisme multi years. "Bukan minjem dari negara lain (yang bukan penjual alutsista) untuk membeli alutsista di negara penjual secara tunai. Utang itu untuk membeli ke negara penjual senjatanya,"jelasnya.
Idealnya, kata Alexandera, Indonesia mampu menciptakan kemandirian alutsista dalam negeri. Namun untuk sampai pada tahapan ini, membutuhkan proses yang panjang sehingga perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengisi kekosongan hingga kemandirian tersebut tercapai. "Prosesnya tidak 1 atau 10 tahun saja. Industri militer memang komplek, mulai dari suku cadang, komponen, integrator atau perakitan,"imbuhnya.
Sumber: ANTARA Bali/Jurnas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar