Kebiasaan unik sering kita temui dalam masyarakat Sunda. Keunikan tingkah laku maupun kata-kata itu beberapa di antaranya telah menjadi budaya. Seperti halnya masyarakat Ungkal, Kec. Conggeang, Kab. Sumedang. Di sana, masyarakatnya memiliki kebiasan mencemooh orang luar atau tamu, baik dari penampilan maupun secara fisik yang disebut poyok ungkal. Kata-kata cemoohan khas masyarakat Ungkal itu tidak memandang pekerjaan, tempat, dan waktu. Poyok ungkal diucapkan setelah mereka melihat bentuk fisik, perlengkapan, atau perilaku yang menurut mereka menarik untuk dicemooh dengan tujuan iseng. Faktor fisik merupakan yang paling banyak dijadikan bahan cemoohan. Kalimat cemoohan menggunakan gaya bahasa metafora dengan tujuan menyindir (ironi). Konsep penciptaan cemoohan umumnya diambil dari lingkungan yang mereka kenal, seperti hewan ternak, hama, palawija, dan perlengkapan pertanian. Menurut pemerhati budaya, Wahyu Margana ketika ditemui di Desa Cikeruh, Kec. Jatinangor, Kab. Sumedang, Rabu (11/8), pesan sesungguhnya dalam poyok ungkal sengaja disamarkan dengan metafora, sehingga sebagian besar komunikan tidak atau terlambat memahaminya. "Misalnya 'Cabe dikebon geus arasak yeuh' itu untuk menyindir orang yang pakai baju merah menyala. Atau 'Eta buruan meni geus barala cik atuh geura sapuan', sindiran bagi orang yang berjanggut tebal. Ada juga yang moyok cara berbusana seseorang. Seperti 'Usum hujan mah oray di sawah teh barijil nya'. Nah itu kalimat sindiran bagi mereka yang berdasi," katanya. Meski dicemooh, sambung Wahyu, orang tersebut tidak tersinggung. "Karena dia tidak tahu ucapan | itu ditujukan untuk siapa. Lagi pula poyokan itu hanya dimengerti oleh sesama masyarakat Ungkal, orang lain pasti hanya senyum-senyum tanda tidak mengerti atau diam sama sekali, lantaran tidak paham apa yang dikatakan," paparnya. Ia menjelaskan, kegagalan komunikasi (noise) ini memang sengaja dan ciri dari poyok ungkal. "Cemooh ungkal merupakan warisan budaya yang dikuasai penduduk Ungkal secara alami dari pergaulan hidup sehari-hari di desanya. Penduduk Ungkal belum pernah menggunakan kata-kata cemoohan dalam bahasa Indonesia dan mengaku akan mengalami kesulitan bila mencemooh dalam bahasa Indonesia," katanya. Karena telah dianggap budaya, lanjut Wahyu, sudah sepantasnya poyok ungkal dikembangkan, salah satunya menjadi pertunjukan hiburan karena bernilai budaya. "Seperti berbalas pantun, itu 'kan tradisi masyarakat Melayu yang telah menjadi sebuah hiburan. Kenapa tidak poyok ungkal juga dikemas untuk jadi pertunjukan, tidak sekadar cemoohan untuk masyarakat Ungkal saja," cetus Wahyu. Untuk merealisasikan hal tersebut, rencananya Wahyu akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, baik pemerintah daerah, masyarakat Ungkal hingga para pendidik di sekolah-sekolah agar mengapreasiasi kebudayaan yang jarang terdengar itu. "Kalau kita kemas dalam sebuah pertunjukan di sekolah tentu akan menghibur. Manfaat lainnya juga untuk melatih siswa dalam berkomunikasi serta kreatif mencari kalimat cemoohan yang cepat dan tepat untuk disampaikan," ujarnya. (mirza/"GM")** Sumber: www.klik-galamedia.com |
Senin, 24 Januari 2011
"Poyok Ungkal" Bernilai Budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar