Lengking suara-suara ini menjadi suatu harmoni tersendiri. Mengalun dan meliuk-liuk bak irama angin yang menari di atas ombak beiringan susul-menysul dari mula nada rendah hingga nada tinggi sekali. Seni buhun “beluk”. Para leluhur menamai kesenian tradisonal tersebut sesuai dengan alunannya yang meliuk.
Menurut sejarahnya, kesenian atau seni beluk yang ditampilkan merupakan jenis kesenian yang berbasis tradisi bertani yang mengandalkan pada kekuatan vokal tanpa waditra (instrument), banyak terdapat di beberapa daerah pertanian di Jawa Barat.
Beluk merupakan sarana hiburan masyarakat pedesaan. Hal ini bermula dari kebiasaan masyarakat peladang yang lokasi mereka berjauhan dari satu tempat ke tempat lainnya sehingga untuk mengadakan komunikasi diperlukan suara yang keras yang mempunyai pola tinggal menetap tetapi saling berjauhan.
Selain itu, beluk juga berawal ketika mesyarakat yang bepergian melewati hutan sendirian. Untuk mengusir rasa sepi, melakukan teriakan-teriakan untuk memberi tahu kalau ada orang lain di hutan tersebut.
Keberadaan beluk sebenarnya sudah sejak dahulu, yaitu sejak masa penjajahan Belanda. Beluk pada hakikatnya merupakan kesenian tembang buhun (kuno) yang lebih mengutamakan tinggi rendahnya suara. Syair yang dilantunkan adalah jenis wawacan (carita babad) yang dibawakan seperti dijumpai dalam beberapa pupuh mulai dari pembukaan sampai pada penutupan seperti pupuh kinanti, asmarandana, pucung, dangdanggula, balakbak, magatru, mijil, dan ladrang.
Pengiring lainnya biasanya wawacan, adapun jenis wawacan yang disampaikan juru beluk bergantung pada yang diikuasainya seperti wawacan ogin, rengganis, babar nabi, barjah, amungsari, jayalalana, natakusuma, lutung kasarung, mahabarata, dan ciung wanara.
Beluk biasanya dilakukan oleh lima orang. Cara penyajiannya pun tergolong unik karena seni beluk hanyalah mengutamakan kemampuan suara juru ilo atau tukang ngilo adalah pembaca syair wawacan tanpa dinyanyikan (naratif) dalam tempo sedang, dengan artikulasi yang jelas. Dibaca per-padalisan (garis). Tukang ngajual fungsinya yaitu menyajikan syair yang dibacakan oleh tukang ngilo sesuai dengan pupuh-nya, tetapi cara menyajikannya tanpa ornamen. Tukang meuli, tugasnya adalah melanjutkan lagu yang disajikan oleh tukang ngajual dengan dilengkapi ornamen-ornamennya. Tukang naekeun, tugasnya adalah melanjutkan sajian tukang meuli dengan menggunakan nada yang melengking tinggi dan meliuk-liuk dengan artikulasi yang tidak jelas, dilengkapi ornamentasi yang sangan dominan.
Peranan para menyaji dilakukan secara bergiliran. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik dan suara agar tetap fit. Karena penyajian seni beluk pada waktu malam hari dan biasanya dilakukan sampai akhir cerita wawacan. Beluk dan wawacan akhirnya sangat berkaitan erat.
Bentuk dan kontur lagu yang cenderung menggunakan nada tinggi, mengalun, dan meliuk-liuk. Dari kata “nada tinggi” sudah mencerminkan bahwa kesenian beluk ini tidak lazim dikumandangankan diruangan, tetapi di alam bebas. Seiring perkembangannya beluk terdengar di rumah-rumah penduduk. Ini terkait dengan pengaruh wawacan atau membacaan kitab kuno yang dinyanyikan untuk ritual tertentu, misalnya ritual kelahiran bayi, acara hajatan, dan sunatan. Secara evolutif, beluk dan wawacan telah bersanding dalam sajian musik vokal. (Sumber: Erwin R. Widiagiri/”Kabar Priangan”. PR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar