C-27J Spartan terbang perdana. (Foto: Alenia)
22 Oktober 2011, Jakarta (Kompas): Terkait dengan penggantian pesawat angkut Fokker 27, TNI Angkatan Udara telah mencoba dua macam pesawat. Hingga saat ini, C-27 Spartan dianggap lebih unggul dibandingkan dengan Casa 295.
Walau begitu, keputusan akhir tetap di Kementerian Pertahanan karena ada unsur PT Dirgantara Indonesia (DI), kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Azman Yunus dalam kunjungan ke harian Kompas, Jumat (21/10).
Dia mengharapkan PT DI bisa memenuhi kebutuhan operasi dari TNI AU. Pesawat angkut yang nanti dibeli pemerintah juga diharapkan bisa menangani kebutuhan angkut lebih daripada Fokker 27.
Azman memaparkan, ada dua opsi yang dievaluasi TNI AU berkaitan dengan penggantian Fokker 27 yang akan segera habis masa pakainya. Opsi itu adalah C-27 buatan Spartan dari Italia dan C-295 dari Airbus Military.
Menurut penelusuran Kompas, C-27 dengan daya angkut 10 ton bisa menempuh jarak 1.000 mil dengan kecepatan 300 km per jam. Adapun C-295 memiliki daya angkut 6 ton dengan jarak tempuh 1.000 mil dengan kecepatan 200 km per jam. Harga C-27 mencapai 42 juta dollar AS, sedangkan harga C-295 sebesar 31 juta dollar AS.
Baru-baru ini, Airbus Military bekerja sama dengan PT DI untuk perakitan C-295 dan pemasaran di kawasan Asia Pasifik. Dirut PT DI Budi Santoso mengatakan, dari rencana perakitan sembilan pesawat C-295, tiga akan dikerjakan di Spanyol, tiga di Indonesia, dan tiga lagi ditentukan kemudian. Waktu delivery-nya 2014, kata Budi.
Sementara itu, sejumlah pesawat tempur dan persenjataan baru TNI AU akan mulai tiba awal tahun 2012. Satu skuadron pesawat tempur Super Tucano y! ang terd iri atas 16 pesawat akan datang pada Maret 2012 sebagai pengganti OV-10 Bronco yang di antaranya untuk mengawal perbatasan.
Pesawat tempur lain yang didatangkan adalah 24 pesawat tempur F-16 Fighting Falcon varian A/B yang akan ditingkatkan kemampuannya.
Indonesia Butuh Pesawat Amfibi
Indonesia membutuhkan pesawat amfibi untuk menjangkau daerah terpencil dan menangani keadaan darurat.
Kepala Sub Dinas Penerangan Umum TNI AU Kolonel (Pnb) Agung Sasongko Djati, seusai kunjungan di harian Kompas, Jumat (21/10/2011), mengatakan, pada masa silam TNI pernah mengoperasikan pesawat amfibi yang kerap digunakan dalam acara kenegaraan untuk menjangkau daerah terpencil.
"Dulu kita punya pesawat PBY Catalina dan beberapa jenis lainnya. Sekarang sudah tidak ada lagi," kata Agung yang memiliki call sign penerbang "Sharky".
Penerbang F-16 itu menceritakan, sejumlah danau dan perairan di Indonesia pernah menjadi pangkalan pesawat amfibi. Sayang, sebagian dari danau tersebut sudah rusak dan mengalami pendangkalan.
Menurut dia, idealnya negara kepulauan seperti Indonesia memang memiliki pesawat amfibi yang dapat digunakan menjangkau daerah terisolasi, terutama dalam situasi tanggap darurat dan memantau daerah perbatasan.
Semasa zaman Hindia Belanda, Danau Pangalengan, Danau Bagendit, hingga perairan dekat Bandar Lampung (dulu Oost Haven) menjadi pangkalan utama pesawat amfibi Catalina dan Dornier.
Demikian pula pada masa pendudukan Jepang, dioperasikan pesawat amfibi milik Jepang dan Luchtwaffe (Angkatan Udara Jerman). Pada tahun 1980-an, TNI sudah tidak memiliki skuadron pesawat amfibi yang sempat dimiliki oleh TNI AU dan TNI AL.
Sumber: KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar