Putra Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, Raden Anggalarang jatuh cinta kepada putri ke-38 Prabu Siliwangi, Dewi Siti Samboja. Cinta mereka pun kemudian disatukan dalam ikatan perkawinan. Raden Anggalarang memimpikan membangun kehidupan cinta mereka dalam sebuah kerajaan di Pananjung yang sekarang lebih dikenal Pangandaran, Kabupaten Ciamis.
Dalam perjalanan ke Pananjung Raden Anggalarang tewas dibunuh kawanan perampok (bajo). Dewi Siti Samboja yang kehilangan cintanya sejatinya, sembunyi di kaki Gunung dan menyamar (berganti nama menjadi Dewi Rengganis) menjadi seorang penari ronggeng. Penyamarannya untuk menjebak para perampok yang telah merenggut nyawa suaminya. Ronggeng gunung pun menjadi tarian berbau maut dan berbalutkan balas dendam. Begitulah Sepenggal kisah asal mula kesenian ronggeng yang berkembang di Daerah Ciamas.
Ronggeng gunung tidak berbeda dengan ronggeng pada umumnya, yaitu kesenian tradisonal yang menampilkan seorang penari atau lebih yang diiringi lagu dari suara juru kawih atau sinden. Yang paling khas dari kesenian ronggeng adalah karembong (selendang) untuk dikalungkan di leher penonton sebagai ajakan untuk menari.
Seni ronggeng terbagi menjadi tiga jenis, berdasarkan asal penarinya: Ronggeng gunung, penarinya berwasal kari kawasan pengunungan. Ronggeng kaler penarinya berasal dari wilayah utara. Ronggeng kidul, menarinya berasal dari wilayah bagian selatan.
Ronggeng gunung sangat sederhana. Seorang penari yang memiliki peran ganda sebagai juru kawih atau sinden dan hanya diiringi tiga orang nayaga.
Ronggeng kaler dan ronggeng kidul, tidak ada perbedaan yang mencolok. Penari tidak berperan ganda menjadi sinden. Biasanya terdapat 4 – 6 ronggeng yang diiringi sekitar empat belas nayaga dengan alat musik yang cukup lengkap ditambah seorang juru kawih atau sinden. Ronggeng kaler hampir sama dengan Tayub. Ronggeng kaler hadir sebagai tarian untuk melayani Dalem (kerajaan).
salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar