Sabtu, 27 Agustus 2011

Menyorong Rembulan (Emha Ainun Nadjib dan Mini Kiai Kanjeng)

rembulan
Album Menyorong Rembulan dikeluarkan setelah album Jaman Wis Akhir. Album ini masih menyoroti keandaan bangsa yang waktu itu masih dalam proses perubahan. Perenungan dan pengharapan seorang Cak Nun, dituangkannya dalam Album ini.

Seperti biasanya, saya coba menulis ulang sebagian tulisan yang ada di dalam sampul Menyorong Rembulan

PRODUSER: Akhlis Suryapati. PRODUSER EKSKUTIF: H. Wawan Yuwardi, Dicky Sundri. DISTRIBUTOR: Indomusik. Studio: Ariesta. OPERATORPMIXING: Ferry, Jupri. DESAIN GRAFIS-VIDEO KLIP: Kreativa Entertainmen

Vokal: Emha Ainun Nadjib, Haddad Alwi, Ki Sudrun. Pemusik: Mini Kiai Kanjeng; Novi Budianto (keyboard, rebana, koor, aransemen). Bobit (keyboard, rebana, programmer, arransemen). Yoyok Prasetyo (bas gitar, rebana, koor), Bayu Kuncoro(rebana, koor), Djoko Kamto (rebana, koor). Koor: Kelompok Hamas—Himpunan Masyarakat Shalawat; Fatimah HA, Haydar Yahya, Effendy, Habib Husein, Ali Alical, Abinsa, Chepy, Ridho, Ali Alatas, Salim AF, Husein A, Hasan A, Dolah, Hilman Farkhi, Evey Supriyanto.

Kepemimpinan Blimbing
Hikmah Sunan Ampel

Bangsa Indonesia butuh keluar dari jurang. Butuh mengerti jurang apa yang menyerembabkannya dalam krisis yang sangat berkepanjangan. Butuh mengerti bagaimana cara merangkak naik dari kedalaman jurang. Butuh kesangguhan untuk membebaskan dari jurang secara bersama-sama, bukan sendiri-sendiri atau segolongan-segolongan.

Bangsa Indonesia perlu hijrah, berpindah dari kegelapan menuju cahaya. Bangsa Indonesia perlu memahami bukan hanya cara berhijrah, tapi juga terutama kemana akan berhijrah. Kedua-duanya “cara” dan “kemana” adalah pertanyaan tetang system nilai yang di sisitem nilai yang jelas pilih secara jelas. Perombakan system nilai yang tak jelas itu akan menyebabkan bangsa Indonesia belum mampu menyelenggarakan penyembuhan nasional secara tertata, belum mampu sanggup mengindentifikasi masalah-masalah secara tepat dan adil.

Dari khazanah Sunan Ampel, melalui konsep Ilir-Ilir, ada tawaran Kepemimpinan Blimbing. Negeri yang amat kaya raya namun dimanage secara buruk… Bocah angon (penggembala kebangaaan, pemimpin nasioanl, bukan pemuka gerombolan atau tokoh golongan) yang harus memanjat pohon selicin apapun untuk memperoleh blimbing yang bergigir lima… Sari blimbing itu dipakai untuk mencuci pakaian nasional yang robek (krisis moral yang melahirkan krisis politik.. Mungpung jembar kalangane, mungpung padhang rembulane… sepanjang masih sangat mungkin krisis diatasi..

Mudah-mudahan lantunan Ilir-Ilir dan sejumlah shalawat (agar kita melindungi diri dari tradisi dusta nasional) serta orasi sekitar seperempat jam ini bisa turut menjadi air blimbing untuk proses pencucian dan penyembuhan nasioanal.
Emha Ainun Nadjib
(Ta’zim pada Sunan Ampel, Cinta pada Guru Zaini, Martapura)

Fragmen-fragmen dari Renungan Emha:
“…. Bisakah luka yang teramat dalam ini memenuhi angkasa tanah air nanti akan sembuh, bisakah kekecewaan, bahkan keputusaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini akan pada akhirnya nanti akan kikis
Adakah kemungkinan kita akan bisa merangkak naik ke bumi, dari jurang yang teramat curam dan dalam
Akankah api akan berkobar-kobar lagi
Apakah asap akan membungbung lagi dan memenuhi angkasa tanah air
Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain,
Jarah menjarah satu sama lain dengan mengorbankan yang tidak akan terkirakan
Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya kita jalani
Bersediakah sebenarnya kita untuk tahu persis apa yang kita cari
Cakrawala yang manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita
Pernahkan kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar
Pernahkan kita memcoba menyesali hal-hal yang barangkali memang perlu kita sesali dari perilaku-perilaku kita kemarin
Bisakah kita menumbuhkan kerendahan di balik kebanggaan-keganggaan
Masih tersediakah ruang di dada kita dan di akal kepala kita
Untuk sesekali bertanya kepada diri sendiri, bahwa yang bersalah
Bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa
Bukan hanya ia, tapi juga kita…”

“…. Terserah apa tafsirmu tentang blimling bergigir lima
Tapi selicin apapun pohon reformasi itu harus didaki, agar kita
Peroleh air sari blingbing untuk mencuci pakaian nasional kita
Dan yang memanjat harus “bocah angon”
Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh juga seorang seniman, boleh juga seorang kiai, jenderal, atau siapapun saja
Namun memiliki daya angon
Kesanggupan untuk menggembalakan
Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak
Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama
Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan
Bocah angon adalah seorang pemimpin naasioanl, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan….”

“…… ilir-ilir, kita sudah ngilir, kita sudah bangun, sudah bangkit, bahkan kaki kita sudah berlari kesana kemari, namun akal pikiran belum hati nurani belum
Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk dimulut, namun kita biarkan ajara-ajarannya terus hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa kita
Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik
Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling
Kita mencari penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya
Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan yakni
Melarangnya untuk insaf dan bertobat
Kita memperjuangkan gerakan anti pengusuran dengan cara balik menggusurnya
Kita menolak pemusnahan dengan merencanakan pemusnahan
Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana
iblis, yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri
siapakah selain setan, iblis dan dajjal, yang menolak husnul khotimah manusia, yang memblokade pintu sorga, yang menyorong mareka mendekat ke pintu neraka? …”

“…. Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri menindas
Sesudah diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak
Sesudah dihancurkan, kita susun barisan untuk menhancurkan
Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya perpecahan
Yang kita bangun bukan niknatnya kemesraan, tapi menggelaknya kecurigaan
Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah
Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka, melainkan rancangan-rancangan panjang untuk menyelenggarakan perang saudara…”

SIDE A
Ilir-ilir & Shalawat Badar
Renungan Ilir-ilir
Astaghfirullah

SIDE B
Nurul Musthofa
Penyembuhan Bangsa
Thoa’al Badru
Menyorong Rembulan
Shalawat Berdiri.

Sekali pun album ini sudah cukup lama dikeluarkan, tapi isinya tak kan usang di telan jaman. Jadi masih layak di dengar dan direnungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar