(Oleh: H.USEP ROMLI. H.M., Pikiran Rakyat)
KEMEGAHAN Masjid Umayyah di pusat Kota Damaskus, Suriah memesona Malik bin Dinar (abad ke-3 Hijrah). Ia pun kemudian berkeinginan bagian dari masjid itu, minimal menjadi anggota takmir masjid yang mendapat gaji besar dan jubah kehormatan.
Untuk mencapai maksudnya, Malik menggelar sejadah di sudut depan. Bersalat di situ seolah-olah khusyuk. Padahal, di dalam hati, ia berharap ada orang yang memperhatikan lalu melapor ke sultan atau wakilnya bahwa ada seorang ahli ibadah yang tekun beritikaf, menambah kemakmuran masjid yang memang tak pernah sepi dari salat berjamaah, dan kegiatan lain.
Sebulan, dua bulan, hingga setahun Malik bin Dinar salat di situ, tetapi tak seorang pun yang acuh kepadanya. Para pembesar dan jemaah masjid lalulalang begitu saja. Jangankan menawarkan kedudukan takmir, menyapa pun tak pernah. Padahal, siang malam, Malik tak pernah beranjak dari tempatnya ruku dan sujud, kecuali untuk keperluan makan dan bersuci.
Pada suatu malam, tiba-tiba Malik mendengar suara gaib dari arah langit-langit masjid. “Hai Malik, sampai kapan engkau salat untuk sebuah jabatan? Kapan engkau akan salat untuk Allah, sembahanmu yang Mahaagung dan Mahakuasa atas hamba-hamba-Nya?” Mendengar itu, Malik tersabar. Ia segera beristigfar, bertobat, serta memperbaiki niat salatnya kini betul-betul lillahi ta’aala.
Sesuai salat Subuh, tiba-tiba terdengar keributan di luar masjid. Ternyata, Gubernur Damaskus sekaligus adik Sultan Umayyah menemukan retak-retak dinding masjid bagian samping. “Kita memerlukan seorang petugas yang akan memimpin perbaikan dinding ini,” kata sang gubernur. Seseorang menjawab, “Kalau boleh saya usul, Tuan Gubernur. Di sini ada seorang ahli ibadah yang sudah setahun itikaf siang malam. Bagaimana kalau dia diangkat menjadi pengurus masjid dan ditugaskan mengawasi perbaikan dinding?
Perbincangan itu terdengar jelas oleh Malik bin Dinar. Ia segera bersujud lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara serak, ia memanjatkan puja puji ke hadirat ilahi, “Ya Allah, setahun hamba beribadah demi manusia, demi jabatan, tak ada yang peduli terhadap hamba. Akan tetapi, sekali saja hamba beribadah hanya bagi-Mu, ya Allah, orang-orang telah berkenan memenuhi keinginan hamba selama ini.”
Sang gubernur memerintahkan seseorang untuk memanggil Malik. Bersamaan dengan itu. Malik meloncat dari jendela, melarikan diri jauh-jauh. Ia tak ingin menodai perhatian Allah swt kepadanya dengan perhatian manusia. Ia tak ingin lagi melaksanakan salat demi jabatan dan urusan duniawi lainnya. (dinukil dari “Hilyatul Aulia’ karya Abu Nu’aim Al Asfahami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar