Sukhoi TNI AU. (Image: mars.slupsk.pl)
2 April 2012, Jakarta: Mantan Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono angkat bicara mengenai kabar bermasalahnya pengadaan tujuh pesawat Sukhoi pada era Presiden Megawati Sukarnoputri lalu.
Juwono mengakui, skema pengadaan dan pembelian jet tempur pada pemerintahan Presiden Megawati keluar dari prosedur yang biasa dilalui Kementerian Pertahanan (Kemhan). "Skema pembeliannya waktu itu (Sukhoi) dilaksanakan lewat Badan Urusan Logistik (Bulog) dan Menteri Perindustrian. Sehingga keluar dari jalur Kemhan," ujar Juwono ditemui di sela Konferensi Keamanan Lingkungan Asia Tenggara di Jakarta, Senin (2/4).
Pernyataan itu, didasarkan atas keterangan yang ia terima saat ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan sejak dimulainya Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I pasca berakhirnya Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati tahun 2004 lalu.
"Waktu saya ambil alih Kemhan tahun 2004, memang ada sisa persoalan dari masa lampau termasuk soal Sukhoi," katanya.
Saat itu ungkap Juwono, ia menerima informasi TNI tidak mempunyai anggaran untuk membeli pesawat asal Rusia tersebut. Menyikapi situasi ini sambung Juwono, Menteri Pertahanan era Presiden Megawati, Matori Abdul Djalil lalu menyarankan pengadaan atau pembelian di luar jalur APBN.
"Pak Matori sudah menyarankan ada cara pembelian di luar jalur APBN, agar (bisa) dibiayai tiga pesawat Sukhoi," katanya. Mantan Gubernur Lemhanas ini melanjutkan, adapun pengadaan empat pesawat Sukhoi lainnya diupayakan melalui jalur state credit atau kredit negara.
Namun Juwono menyatakan lagi, pengadaan atau pembelian pesawat Sukhoi era Presiden Megawati sudah selesai. Pasalnya, saat menduduki kursi Menteri Pertahanan, Juwono pernah mendapat tagihan dari Bulog dan Pertamina untuk melakukan pembayaran.
"Yang dulu saya lihat sudah diselesaikan. Karena waktu itu saya dapat tagihan dari Bulog dan Pertamina untuk membayar (pengadaan pesawat) yang (sebelumnya) ditalangi Bulog dan Pertamina. Waktu itu anggaran Kemhan masih kecil yaitu Rp21 triliun," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pengadaan pesawat Sukhoi 30MK2 pada tahun 2003-2004 era Presiden Megawati Soekarnoputri diduga bermasalah. Pengadaan pesawat itu dilakukan dengan biaya di luar APBN.
Dugaan Mark-up Pembelian Sukhoi Era Megawati Harus Diusut
Dugaan penggelembungan harga (mark-up) pembelian enam unit pesawat tempur Sukhoi 30-MK dari Rusia harus diusut tuntas. Termasuk ketika pembelian Sukhoi dilakukan era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003. "Siapa pun yang melakukan korupsi, kapan pun harus diusut tuntas. Kalau terjadi mark-up adanya komisi-komisi (upah) yang tidak jelas itu harusnya juga diusut untuk menghilangkan kecurigaan-kecurigaan, dan tuduhan-tuduhan politik," kata pengamat politik, Ikrar Nusa Bakti, saat dihubungi, Minggu (1/4).
Ikrar menilai ada kejanggalan pembelian enam unit Sukhoi oleh Kementerian Pertahanan. Pasalnya, Sukhoi dibeli melalui perusahaan perantara, sementara pembelian alat utama sistem senjata biasanya melalui kerja sama G to G (government to government).
Ditambah lagi, Sukhoi diduga dibeli melalui perusahaan yang pernah bermasalah hukum sebelumnya. "Salah satu importirnya pernah punya kasus pembelian senjata, lantas kenapa diberi kepercayaan memainkan peran broker," ujar peneliti LIPI ini.
Ia melihat adanya selisih harga dengan pembelian Sukhoi sebelumnya. Ia pun mendesak penyelidikan dilakukan, apakah selisih harga tersebut merupakan bagian dari keharusan pembayaran pemerintah atau untuk mendapatkan komisi atau keuntungan khusus.
Ia menunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan merilis besaran kerugian negara dalam kasus dugaan mark-up ini. Walau BPK sendiri memiliki kerja sama atau MoU sendiri dengan Kementerian Pertahanan. "Susahnya itu, bahwa kadang-kadang sikap TNI menggunakan unsur kerahasiaan negara, sehingga tidak memungkinkan penyidik mengusut lebih jauh," kata Ikrar.
Sebelumnya diberitakan, Koalisi LSM menemukan ketidakwajaran harga pembelian enam unit Sukhoi senilai US$470 juta tersebut. Pasalnya, menurut data di Kementerian Pertahanan, harga satu unit Sukhoi US$54,8 juta. Dengan harga tersebut, jika dikalkulasi Pemerintah RI hanya akan menggelontorkan US$328,8 juta.
Sementara jika mengacu harga jual Rosoboronexport sebagai lembaga pengekspor, negara maksimal mengeluarkan US$420 juta untuk enam unit Sukhoi. Koalisi LSM juga mempertanyakan keterlibatan PT Trimarga Rekatama sebagai agen pembelian Sukhoi.
Padahal, pembelian harus dilakukan secara G to G. Atas dugaan mark-up ini, Presiden telah mempersilakan BPK melakukan audit investigasi pembelian Sukhoi sejak sebelum 2004.
Sumber: Jurnas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar