Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo membaca sumpah jabatan saat pelantikannya sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat di Jakarta, Kamis (30/6). (Foto: Biro Pers Istana Presiden/ Abror Rizki)
12 Desember 2011, Jakarta (TEMPO.CO): Tentara umumnya menyenangkan bila bikin janji: selalu tepat waktu. Persis pukul sebelas siang—seperti yang dijadwalkan— Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo menerima Tempo di kantornya, Markas Besar AD, Jalan Veteran, Jakarta. Tempat itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor abang iparnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara.
Tidak seperti SBY yang jangkung dan besar, tinggi Pramono Edhie layaknya kebanyakan pria Indonesia, sekitar 165 sentimeter. Tubuh masih selangsing ketika dia lulus Akademi Angkatan Bersenjata RI pada 1980. Wajahnya, terutama mata, amat mirip ayahnya, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo.
Sebelum pertanyaan pertama terlontar, dia mengajukan dua syarat. Pertama, dia tak mau fotonya ada di halaman wawancara. “Saya tidak mau dianggap lagi jualan,” kata dia. Syarat kedua: “Saya tidak mau ditanya soal politik.” Soal politik yang dimaksud adalah tentang isu bahwa dia akan dicalonkan dalam pemilihan presiden 2014.
Syarat ini juga berat, karena inilah salah satu hal penting yang ingin kami tanyakan sejak saat dia dilantik menjadi Kepala Staf, enam bulan lalu. Maklum, sebagai adik Ani Yudhoyono, banyak yang menganggapnya sebagai “putra mahkota” Cikeas.
Hal lain yang juga ingin kami tanyakan saat ini, yaitu soal pembelian senjata dan peralatan militer TNI Angkatan Darat secara besar-besaran tahun ini. Anggaran yang sudah disetujui parlemen untuk pembelian senjata selama tiga tahun ke depan Rp 14 triliun. Sebagian uang itu—US$ 280 juta (Rp 2,5 triliun) akan dibelikan seratus tank tempur (main battle tank) Leopard 2A6 buatan Jerman. Berbeda dengan para tetangga—Singapura, Malaysia, dan Thailand—yang telah memiliki puluhan bahkan ratusan tank besar sekelas itu, Indonesia hanya memiliki tank ringan.
Pembelian alat militer dalam jumlah besar seperti itu adalah gula yang terlalu menggiurkan untuk dilewatkan para makelar senjata. Bagi penghubung antara produsen senjata di luar negeri dengan TNI, rencana pembelian senjata besar-besaran ini adalah proyek yang bisa menjamin kesejahteraan tujuh turunan mereka. Bayaran untuk mereka cukup besar. Kalau 5 persen saja mereka bisa peroleh, maka Rp 700 miliar sudah pasti bisa dikantongi. Siapa tak ngiler? Soal fee untuk para perwira dan pejabat tinggi yang meloloskan, juga bukan rahasia lagi.
Untuk hal ini sang jenderal bersedia menjawab. Ia bahkan memilih topik ini sebagai “medan pertempuran” pagi itu. Selain meminta para perwira tinggi yang terlibat pembelian senjata menemani, di belakang kepalanya tersusun rapi dua buku—The Military Balance 2011 dan Leopard 2. Kacamata baca dan secarik kertas catatan tergeletak di atasnya, tanda dia baru saja mempelajari kedua buku itu.
Maka, proses pembelian senjata yang biasanya ditutup rapat-rapat, pagi itu ia beberkan.Perbincangan 89 menit yang amat menarik hingga kami—Tomy Aryanto, Setri Yasra, Fanny Febiana, Yogita Lal, Qaris Tajudin, dan juru foto Jacky Rachmansyah—lupa meminum teh hangat yang disediakan.
Leopard 2. (Foto: KMW)
Apa alasan TNI AD membeli sejumlah peralatan militer baru, termasuk tank Leopard?
Pertama, alhamdulillah kami mendapat anggaran yang cukup besar dari negara, sesuai dengan perkembangan ekonomi Indonesia yang baik. Tapi, kalau dibandingkan dengan pembelian peralatan dan senjata Angkatan Laut atau Udara, anggaran kami yang terkecil. Ini karena peralatan militer yang mereka butuhkan memang membutuhkan teknologi tinggi. Pesawat tempur, kapal laut, kapal selam, itu cukup mahal.
Kedua, untuk menentukan apa yang harus dibeli, saya harus melihat imbangannya pada kawan-kawan kami dari negara sahabat. Jangan diartikan, saya membeli untuk menyaingi mereka. Bukan. Saya membeli, untuk menyamakan kemampuan.
Malaysia, sudah punya puluhan main battle tank, demikian juga dengan Singapura. Thailand, sudah memiliki lebih dari 200 tank besar—meski sebagian adalah hadiah Amerika dari perang Vietnam. Kita, cuma punya light tank, tank ringan. Enggak imbang. Akibatnya, kita tidak pernah latihan bersama dengan teknologi yang sama.
Kapan terakhir kali membeli tank?
Cukup lama kita tidak membeli peralatan militer besar, karena keadaan ekonomi. Kalau dihitung, terakhir kita membeli peralatan militer dalam volume besar untuk Angkatan Darat itu 20 tahunan. Kalau hanya senjata dan alat infantri, ya tiap tahun kita perbarui. Kapan terakhir kali kita membeli tank? Scorpion, itu zaman Pak Harto, jauh sebelum dia turun.
Apakah tank itu memang kita butuhkan?
Membangun tentara itu, pertama adalah memilih personel. Saya di Angkatan Darat, tidak ada kendala memilih personel. Kalau ingin mendapatkan 200 tantama, yang mendaftar 4.000. Setelah personel dipilih, mereka dilatih, lalu dilengkapi. Nah, di situ masalahnya.
Seperti apa sih kondisi persenjataan kita saat ini dan idealnya itu seperti apa?
Pembangunan persenjataan itu sangat tergantung pada anggaran dari pemerintah. Ada kebijakan TNI untuk memberlakukan minimum essential force . Kelas kita memang masih minimal, bukan idealnya. Batalion kavileri Angkatan Darat itu ada lebih dari 10, yang baru saya mau belikan baru dua batalion. Itu minimum. Tapi kita kan harus mulai.
Tank yang Anda pilih besar sekali?
Ada beberapa orang yang memang menyampaikan kepada saya: "Tankmu kebesaran." Kok kita mau beli dibilang kebesaran, wong semua orang di kawasan ini sudah lama menggunakannya. Perang tank itu ya tank lawan tank. Kalau tank kita 76 (ton) dan di sana 105 atau 120, kita belum lihat tank mereka, sudah ketembak dulu he-he-he. Ya enggak imbang dong.
Tank kan macam-macam, ada Abrams dari Amerika, ada Leclerc dari Prancis, ada dari Rusia. Kenapa Angtan Darat memilih yang dari Jerman?
Leopard adalah tank yang dipakai 15 negara di dunia. Kalau orang pakai (mobil) Mercy, kita tidak perlu lagi uji-uji lagi. Mercy punya kelas tersendiri. Kalau Leclerc, memang besar, tapi yang pakai berapa negara? Tidak banyak.
Wakil Kasad Letjen Budiman: "Sebenarnya Leopard adalah tank terbaik di dunia, Abrams kalah. Saya pernah bawa Abrams waktu sekolah di Amerika. Leopard dari segi efisiensi bahan bakar, kelincahan manuver, ini terbaik. Saya kemarin pakai Leopard A5 saja, direktur Pindad geleng-geleng. Itu lebih sip dari mobil sedan, padahal dibawa ke medan yang luar biasa."
Bagaimana dengan Abrams?
Itu juga hanya sekutunya—seperti Israel atau Australia—yang diberi. Kita kan tidak dianggap bagian dari “sekutu” mereka. Kalau mereka membolehkan kita beli dan harga bersaing, ya saya mau.
Soal harga?
Untuk harga beliau (Wakil Kasad Letjen Budiman) yang menjawab.
Budiman menjelaskan bahwa harga Leopard 2 yang baru amat mahal, "Kita tidak mampu membelinya." Indonesia lalu membeli tank Leopard 2A6 bekas milik Belanda. Mereka akan melepas 150 Leopard buatan tahun 2003 itu. "Tank ini tidak pernah dipakai perang, tidak pernah dipakai latihan besar-besaran. Itu dalam garasi yang sangat terpelihara. Permintaan mereka: bersedia G to G (antar pemerintah, tanpa perantara)? Saya bilang ya. Bersedia tidak ada fee dan uang apa-apa? Saya bilang ya. Oke, kalau you bersedia, ini harga yang saya tawarkan."
Berarti ada anggaran yang tak terpakai?
Jadi awalnya itu kami mengajukan anggaran untuk 44 unit dengan harga US$ 280 juta. Kami laporkan kepada pemerintah, dialokasikan. Ternyata, setelah tim ini kembali, kami dapat 100. Wah, kita kayak ketiban rejeki, bukan ketiban duren. Kenapa tidak? Ya kan enggak salah toh kami. Saya tidak bisa bilang ini kelebihan, wong ini masih belum memenuhi untuk minimun essential force.
Bisa bayangkan, kalau dengan US$ 280 juta saya bisa membeli tank yang jumlahnya dua kali lipat, berarti kan keuntungan US$ 140 juta, Rp 1,3 triliun. Wah, saya beli apa saja bisa. Tapi kan saya jadinya durhaka. Enggak, enggak, enggak boleh begitu.
Jadi ini betul betul bebas broker?
Bebas sama sekali. Antar pemerintah.
Kenapa Wakasad yang memimpin tim pembelian?
Bukan saya tidak percaya orang lain, seperti Asisten Perencanaan dan Asisten Logistik. Ini karena kebijakannya bersifat sangat strategis. Sehingga harus wakasad yang memimpin. Saya yang menentukan kebijakan di belakang, supaya tidak terkontaminasi.
Tapi sebenarnya semua itu ada hitungannya. Jadi begini, kami semua di Angkatan Darat sepakat, untuk membangun TNI itu tidak murah, karena dana negara juga tidak banyak. Kami sepakat, ketika kita sudah diberi pangkat, remunerasi (penambahan gaji), semua penyimpangan itu harus dihilangkan. Sekarang yang ada hanyalah pengabdian. Tidak boleh lagi mengambil dari negara, karena negara sudah memberi.
Untuk peralatan lain juga begitu?
Saat saya di Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad), pernah membeli alat bidik untuk senjata Pindad. Karena alat bidiknya canggih, kita belum bisa buat, ya kita beli dari luar. Harganya, awalnya ditawarkan Rp 24 juta per unit. Saya merasa harga ini kemahalan, karena saya bisa buka di internet, harganya enggak segitu. Saya tidak mau, saya perintahkan staf saya telepon ke Amerika. Mereka bilang: "Kami sudah punya agen di Indonesia dan Singapura." Saya bilang, "Saya tidak mau, karena harganya kemahalan." Saat saya bilang harganya Rp 24 juta, dia bilang, "Waduh ya memang terlalu mahal." Allah memberi jalan. Saya jadi Kepala Staf AD, asisten logistik saya diundang ke Amerika. Saya tugaskan, cari pabrik alat bidik itu, ternyata harganya US$ 900 (Rp 8,2 juta). Bisa dibayangkan, kalau dinaikkan tiga kali lipat, saya hanya bisa membeli peralatan untuk 1 batalion, padahal seharusnya bisa untuk 3 batalion.
Artinya, seluruh kegiatan pengadaan alutista tanpa broker?
Kita usahakan.
Bagaimana dengan perawatannya? Kalau nanti kita butuh spare part, kan harus berhubungan dengan broker lagi?
Nah, ini kebijakan saya juga. Niatkan, 30 persen belikan spare part. Tiga tahun, empat tahun, lima tahun, ndak mikir aku. Sebenarnya sudah ada aturan kalau membeli barang, 30 persen sisakan untuk suku cadang. Tapi, selama ini belum dilakukan. Saya hanya mengembalikan aturan yang lama. Karena saya menganggap itu yang benar.
Sekarang, kalau membeli barang harus sekalian sama pelurunya dan suku cadangnya. Jadi, anak-anak enggak boleh berpikir lagi, baru sekian bulan dipakai sudah rusak, enggak bisa diperbaiki. Pelatihan driver, gunner, pemimpin kendaraan, sampai teknik bertempur, manuver, dan montir. Itu masuk dalam perjanjian.
Setelah tiga tahun bagaimana?
Saya pensiun ha-ha-ha.
Kapan tank Leopard datang dari Belanda?
Kalau didukung, proses pembayarn cepat, tahun depan sudah ada. Wong itu tank sudah ada di dalam gudang kok.
Akan ditaruh di mana saja?
Semuanya di Jawa, karena cukup besar.
Tidak di perbatasan?
Kalau di perbatasan kurang bijak, karena kok kayaknya mancing-mancing kekeruhan ha-ha-ha. Kita tidak pernah melihat kawan-kawan kita sebagai mush.
Dengan pembelian ini kita sudah bisa mengimbangi?
Alhamdulillah sudah. Malaysia punya 64 main battle tank dari Rusia T-91.
MLRS ASTROS produksi Avibras Brasil. (Foto: DID)
Selain tank, sisa anggaran akan diapakai untuk membeli apa?
Ada sejumlah peralatan yang juga akan diganti, yaitu arhanud, pertahanan serangan udara. Pesawat tempur sekarang sudah supersonic, senjata yang kita miliki masih peluru. Harusnya peluru kendali (rudal). Kami juga beli ini dari Prancis, mereknya Mistral. Mistral itu 95-99 persen pas di sasaran. Tapi cukup mahal.
Kami juga mengganti armed, meriam. Sampai saat ini kita belum punya kaliber 155 yang masuk kategori heavy caliber. Alhamdulillah, kami awalnya alokasikan untuk 1 batalion, tapi dapatnya 2 batalion. Jarak tembaknya akurat, produknya Prancis, combat proven, sudah dibawa ke Afganistan. Kita juga membeli MLRS, multi louncher rocket system. Ada dua negara yang kita dekati, Brazil dan Amerika Serikat. Rusia itu memang bagus, tapi harus lewat mafia yang harganya enggak tetap.
Wah, kayaknya siap perang. Kenapa beli meriam juga?
Meriam 76 itu adalah meriam Yugoslavia. Itu dari zaman Pak Karno. Ada seorang letnan, begitu lulus akademi militer menembakkan meriam 76. Ketika dia pensiun, meriamnya belum pensiun. Tiga puluh tahun! Kita enggak boleh dong begitu terus.
Dengan banyak merek, apa perawatan tidak repot?
Kita sudah terbiasa dengan perawatan produk yang bermacam-macam, karena teknologi berkembang.
Tidak ada penolakan dari parlemen negara produsen?
Dari Prancis tidak ada penolakan, Inggris tidak, Belanda segera menindaklanjuti, Jerman juga tidak masalah. Masalah hanya ada saat membeli helikopter Apache. Sebenarnya produsen Apache sudah memberi harga fix kepada kita, tapi parlemen Amerika Serikat masih mempertimbangkan soal keseimbangan kawasan. Singapura yang sekutu mereka baru punya dua, kita mau beli delapan.
Biasanya Amerika kan agak bawel soal aturan penggunaan senjata. Bagaimana mengatasinya?
Ya memang, seperti Amerika dulu ada aturan salah satu senjata berat mereka tidak boleh dipakai di Papua. Lah, buat apa juga kita menembak rakyat sendiri pakai roket? Jadi, aturan dari mereka sebenarnya juga tidak terlalu membatasi kita.
Tentang Papua, apakah ada perubahan kebijakan?
Yang signifikan tidak ada. Ada penambahan pasukan? Tidak ada, kami merasa cukup yang ada di sana. Kami merasa hal ini harus diselesaikan bersama-sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat. TNI tidak bisa sendiri. Dengan adanya dialog, Anda maunya apa sih? Kita cari jalan keluar.
Bagaimana dengan penembakan yang dianggap melibatkan Kopasus?
Sampai saat ini kalau ada kejadian, saya bertanya, "Anggota saya atau tidak di sana?" Kalau bukan, saya ambil kesimpulan, ada satu tindakan yang dilakukan kelompok lawan kita. Tapi penanganannya kan tidak bisa langsung diserang. Kita juga tentara yang dilatih dengan benar, tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak benar. Saya juga kemarin agak kaget manakala banyak yang jadi korban dalam pengibaran bendera bintang kejora. Dicek pelurunya bukan peluru organik kita. Kalau tuduhannya TNI merekayasa, silahkan cek.
Anda menganggap operasi militer akan bisa menyelesaikan Papua?
Tidak. Penanganannya harus menyeluruh. Coba, berapa dana yang sudah diberikan ke sana, ke putra daerah, lewat otonomi khusus? Ke mana saja dana itu? Sekian triliun rupiah tidak ada bentuknya. Kalau dulu, bukan sekarang, dana pemerataan uangnya dibawa bupati dan dibagi-bagi. Rakyat yang terima kan tidak dididik untuk menggunakannya dengan benar. Kalau saya kok ngeri ya korupsi seperti itu.
Kembali ke soal senjata. Bagaimana kami bisa yakin Anda tidak diuntungkan dalam pembelian senjata?
Saya mencoba untuk terbuka, siap diaudit setiap saat. Kalau sekarang saya berusaha terbuka, semua bisa terlihat. Boleh ditanya saya dapat berapa persen dari pembelian ini. Saya tidak punya beban untuk menyerahkan pembelian tank itu kepada orang lain jika mereka bisa mendapatkan jumlah yang lebih banyak dengan spesifikasi yang sama.
Empat tahun lalu, kami mebeli truk harganya Rp 600 juta. Sekarang saya beli truk dengan spesifikasi yang sama, pasti lebih mahal dong. Tapi, saya bisa dapatkan dengan harga yang sama, Rp 600 juta. Jumlah yang seharusnya disiapkan 79 truk, setelah mendapatkan harga yang lebih murah, menjadi 113 unit. Ini berarti waktu empat tahun lalu kita beli itu keuntungan mereka luar biasa.
Tapi jujur saya katakan, ini tidak mudah. Tapi kami sudah bertekad.
Wakasad: "Sekarang kami bertekad untuk menegakkan aturan. Kalau (pelaku penggelapan) harus dicopot ya dicopot, tidak peduli siapa, bahkan jika itu orang dekat beliau (Kasad)."
Selama enam bulan menjabat, berapa orang yang dicopot?
Belum ada, karena kan saya untuk sementara ini kalau ada yang tidak beres, saya bilang: "Cek ulang, kamu melakukan perhitungan yang salah." Saya tidak tuduh dia kongkalilkong dengan broker. Saya beri kesempatan lah. Tetapi kalau sudah saya ingatkan, tetap kau lakukan, oh tidak ada alasan, tak ada maaf. Saya tidak menunggu waktu, karena ini harus dilakukan. Ternyata saya beri aturan seperti ini, mereka jelas, ketemu kok. Saya sudah enggak utak-utik lagi, oh berarti kamu sudah mengerti kan? Tidak bijak juga kalau langsung dihantam. Saya juga harus keras kepada diri saya.
Maksudnya keras?
Saya tidak boleh macam-macam. Kalau saya dikasih duit, saya tanya ini dari mana? "Ya pak, sisa yang dulu." Tidak boleh. Tapi kesenangan saya juga enggak macam-macam kok, jarang karaoke, tidak main golf.
Hobi?
Naik sepeda. Sepeda saya cuma berapa perak. Saya tidak mau pakai sepeda mahal, kuatir hilang, malah stres, sakit jantung ha-ha-ha. Saya juga tidak hobi motor besar, karena tidak ahli naik motor. Kedua, saya kan tidak enak kalau naik motor sendiri. Harus ada istri saya. Kalau dia naik, enggak mampu dia, kerokan nanti, masuk angin ha-ha-ha. Tidak lah, saya yang biasa-biasa saja. Kalau sepeda kan enggak mungkin bonceng orang lain, berat. Sepeda juga mountain bike yang biasa, bukan downhill. Saya kan sudah tua (56 tahun, lahir 5 Mei 1955), sudah mulai ngukur kuburan berapa meter. Kalau enggak ingat begitu, pasti pengen-nya macam-macam.
Itu kan kata bapak, sudah tua, orang lain mungkin menganggap bapak 2014 masih bisa jadi presiden....
Oh, no-no-no. Saya sangat senang jadi jenderal. Saya hanya ingin menutup pengabdian ini dengan kehormatan. Sehingga anak cucu saya melihat saya bangga. Saya tidak mau bicara politik karena saya tentara.
Dulu tahun 2003 SBY juga ngomong gitu
Mungkin dulu jadi presiden enak, tapi sekarang enggak enak. Kalau tentara itu jelas pegangannya. Sapta marga enggak dijalanin, plak (tampar). Sumpah Prajurit enggak dijalanin, plak. Tapi, tuntutan rakyat, waaah bisa bikin kita sakit. Pernah enggak ada yang menanyakan bagaimana perasan SBY menahan itu semua?
Jadi, SBY sering curhat nih?
Lah, enggak boleh diceritain dong ha-ha-ha.
Sumber: Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar