4 November 2011, Jakarta (Humasristek): Perilaku buaya dalam menyelam, mengapung di permukaan, dan melayang untuk menyergap mangsa diadopsi menjadi Kapal Perang Crocodile-Hydrofoil. Kapal tiga mode ini dirancang Wisnu Wardhana, dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya untuk pengamanan perairan.
Ini jenis kapal kombinasi yang pertama kali saya rancang. Sebelumnya, sudah puluhan kali merancang dan membuat kapal normal untuk kapal permukaan,” tutur Wisnu, saat ditemui pada hari Selasa (1/11), di bengkel kerjanya di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Kapal Perang Crocodile-Hydrofoil (KPC-H) masih tahap pembuatan di tahun pertama selama tiga tahun berturut-turut. Proses saat ini mencapai 20 persen.
”Tahun ini sudah mendapat dua mesin kembar dan (kami) menyelesaikan tahap moulding atau pembuatan cetakan badan kapal,” kata dia.
Panjang kapal dirancang 12 meter dengan lebar maksimum 2,8 meter, dan tinggi 2 meter. Berat jenis kapal supaya mudah melayang di dalam air harus disesuaikan dengan berat jenis air.
”Cara menghitungnya, berat kapal dibagi volume kapal sama dengan satu. Karena berat jenis air itu satu,” kata Wisnu. Bobot KPC-H direncanakan 14,37 ton.
Perilaku Buaya
Karakter atau perilaku buaya dalam menyelam ditiru dengan maksud untuk mewujudkan kapal pertahanan dan keamanan yang menghindari radar. Oleh karena mesin kapal yang dipilih sebagai mesin diesel tak dilengkapi sistem baterai, kapal ini tak bisa menyelam dalam.
”Kemampuan menyelam dirancang 5 hingga 7 meter dengan cerobong udara tetap di atas permukaan air,” kata Wisnu.
Kapal selam yang mampu menyelam dalam, biasanya menggunakan sumber energi yang pembakarannya tidak membutuhkan udara. Energi yang lazim digunakan berupa sistem baterai, fuel cell (sel bahan bakar), atau nuklir.
”Kecepatan maksimum kapal saat menyelam sampai 20 knot (sekitar 36 kilometer per jam),” kata Wisnu.
Untuk karakter berikutnya, yaitu kemampuan mengapung seperti kapal normal. KPC-H dirancang berkapasitas penumpang 6-8 orang.
Untuk karakter melayang di atas permukaan dirancang sebagai mode berkecepatan tinggi. Sebagai kapal pertahanan dan keamanan, kemampuan kecepatan tinggi tersebut berguna untuk melarikan diri.
”Pada saat mode melayang, hanya bagian sayap kapal yang menyentuh permukaan airnya,” kata Wisnu.
Kecepatan maksimum KPC-H pada saat melayang di atas permukaan mencapai 40 knot atau sekitar 72 kilometer per jam untuk hitungan 1 knot sekitar 1,8 kilometer per jam.
Berbagai Fungsi
Wisnu memaparkan, dengan berbagai karakter buaya tersebut menjadikan KPC-H memiliki berbagai fungsi. Ketika menyelam, memberikan kemampuan kapal ini untuk penyamaran hingga tidak terdeteksi radar.
”Radar tidak akan bisa menembus air,” kata dia.
Kemampuan menyelam itu sekaligus bisa untuk menyusup atau mencegat kapal yang menjadi target. Kapasitas angkut penumpang juga membuat kapal ini bisa untuk melepas pasukan komando secara hening (silent deployment).
Selanjutnya, kapal bisa untuk menempatkan ranjau, menyerang atau menghindar dengan cepat, serta meningkatkan akurasi tembakan dengan karakteristik gerak yang lebih leluasa.
Kapal ini juga bisa digunakan untuk mendukung perekaman data meteorologi, seperti kondisi awan, kecepatan angin, dan gelombang laut. Wisnu mengatakan, KPC-H dirancang untuk meringankan tugas pengamanan wilayah perairan.
”Pengawasan dan penjagaan perbatasan laut secara rutin dapat dilakukan dengan KPC-H ini sehingga dapat mengurangi biaya operasional secara rutin dari kapal-kapal perang besar,” kata dia.
Kondisi geografis Indonesia didominasi kelautan menjadikan kebutuhan akan kapal penjaga perbatasan wilayah kian mendesak.
Penjagaan teritorial dengan KPC-H, di antaranya, bisa mengurangi pencurian ikan atau penyelundupan kapal-kapal asing yang masuk wilayah perairan Indonesia di luar prosedur.
Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengalokasikan dana Rp 3 miliar untuk pembuatan prototipe kapal selam dengan tiga mode ini. KPC-H direncanakan selesai pada tahun 2013. Rencananya, akan diuji coba di Selat Madura, Jawa Timur.
Sumber: Ristek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar