Kiprah warga keturunan Tionghoa dengan segala kelebihan dan kekuranganya, diakui atau tidak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian di Indonesia. Namun, siapa menduga kalau ada keturunan dari negeri tirai bambu itu yang ternyata turut mereformasi kesenian klasik di pantai utara (pantura)
Bahkan karena reformasinya itu seni tradisional pantura yang kemudian diberi nama tarling dinilai menjadi lebih sempurna, enak dinikmati, dan dikenal di nusantara, bahkan di dunia. Meskipun sudah sepi panggilan manggung dan kurangnya regenerasi pelaku kesenian tersebut, tarling masih tetap menjadi ikon kesenian Cirebon di samping topeng.
Diceritakan, sekitar tahun 1940-an, di Cirebon ada seorang pemuda WNI keturunan Tionghoa yang sangat piawai meniup suling bernama Lian Sin You. Ia dikenal pula dengan panggilan Barang. Entah apa sebabnya pemuda yang satu ini tempo dulu dikenal dengan Brang. Pemuda tersebut sangat hobi memancing di sungai atau laut. Sambil membawa alat musik tipu terbuat dari bambu itu.
Pangkal pancing yang terbuat dari bambu tidak ia pegang sebagai mana lazimnya orang memancing. Namun, ditancapkan di tanah pinggiran sungai atau pantai. Sementara Lian Sin You asyik meniup suling. Ketika tali bergerak-gerak sebagai tanda ikan memangsa umpan,barulah dia mencabut gagang pancing lalu melepas ikan dari mata kail. Setelah itu kembali memberi umpan, menancapkan pancing dan lagi-lagi meniup seruling.
Kepintarannya memainkan suling membuat pemuda tersebut dikenal dimana-mana hingga ke luar kota Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu Jawa Barat hingga sebagian wilayah Kabupaten Brebes, Slawi, Tegal Jawa Tengah banyak yang mengenal Lian Sin You. Tidak heran apabila pada suatu ketika Jayana, anggota grup Tuleg, datang ke Cirebon untuk mencari dan bertemu dengan Lian Sin You. Ketika datang, Jayana mendapati Lian tengah asyik meniup suling hingga mendayu-dayu di tepi Sungai Kesunean, sebalah timur kompleks Keraton Kasepuhan sambil memancing ikan.
Setelah melakukan kompromi mereka pun berkolaborasi mengisi siaran Radio Republik Indonesia (RRI) regional Cirebon sekitar tahun 1949. dengan alat cukup sederhana berupa gitar dan suling, mereka melantunkan tembang khas Cirebonan seperti lagu-lagu kiser yang menjadi daya tariknya. Siaran langsung tersebut membuat para pemirsa RRI terkesima, apalagi yang membawakannya ternyata Jayana dan Lian, hingga banyak diantaranya yang keedanan (tergila-gila) pada kesenian tersebut.
Tokoh tarling Jayana juga bekerja sama dengan beberapa pesinden di antaranya Nyi Carini, Nyi Keni, Nyi Tarila, dan Nyi Kamas. Waditra tarling juga semakin lengkap hingga menghasilkan gabungan bunyi yang semakin enak dinikmati. Masyarakat pun semakin antusias menerima kehadiran kesenian tersebut.
Versi lain seperti yang ditulis budayawan Cirebon Nurdin M Noer dan Sumbadi Sastra Ala dalam bukunya “Bulan Tanpa Awan”, pada tahun 1965, kesenian tarling seringkali mengudara di gelombang RRI Cirebon. Atas inisiatif dari Fadjar Madradji Kepala Stasiun RRI Cirebon pada waktu itu, nama tarling diubah menjadi “melodi kota udang” tembang-tembangnya lebih apresiatif dan dinamis hingga lebih disukai pemirsa segala usia. Tidak lagi mendayu-dayu, tetapi mengarah pada lagu-lagu pop Cirebonan.
Pelopornya adalah, seniman muda tarling pada masa itu yakni H. Abdul Adjib dan Sunarto Marta Atmadja yang lebih dikenal dengan Kang Ato. Bahkan, lagu “Warung Pojok” karya seniman Abdul Adjib yang monumental itu sempat tampil dalam International Folklore Festival (festival lagu-lagu rakyat internasional) di Kota Denhaag, Belanda tahun 1969. setelah digubah Pranajaya dalam festival internasional tersebut, nama kesenian tarling mendadak dikenal di dunia.
Versi lain seperti ditulis Supali Kasim dalam bukunya “Tarling Migrasi Bunyi dan Gamelan ke Gitar Suling” (2003) menyebutkan, tarling muncul di Desa Kepandean, Kecamatan/kabupaten Indramayu, Jawa Barat sekitar tahun 1931. diceritakan saat itu ada seorang komisaris Belanda yang meminta tolong Mang Sakim, warga setempat, untuk memperbaiki gitarnya yang rusak. Mang Sakim dikenal sebagai pakar gamelan. Namun, setelah diperbaiki, komisaris Belanda tersebut tidak kunjung datang untuk mengambil gitarnya yang sudah diperbaiki.
Iseng-iseng Mang Sakim mempelajari nada-nada gitar tersebut dan dibandingkan dengan nada-nada pentatonis gamelan. Putra Mang Sakim, Sugra tertarik untuk mempelajari nada-nada tersebut. Bahkan, Sugra melakukan eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke senar gitar, yang bernada diatonis. Dengan eksperimen itu, tembang-tembang seperti kiser dermayonan dan cerbonan yang semula lazimnya diiringi gamelan, menjadi jauh lebih enak didengar ketika diiringi dengan petikan gitar. Kekhasan dan keindahan musik dan tembang klasik tersebut semakin lengkap manaklan dipadukan pula dengan alunan suling miring.
Sejak itulah gitar dan suling miring yang mengiringi kiser dermayonan dan cerbonan semakin memasyarakat hingga selanjutnya ditiru oleh para pemuda kota dan desa saat mereka kumpul-kumpul di “pejagan”/”jondol” (poskamling). Masyarakat, terutama para pemuda di wilayah Indramayu dan Cirebon sepertinya menerima tarling itu sebagai gaya hidup.
Dalam bukunya itu Supali menuturkan, pada tahun 1935 tarling dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, kendi berfungsi sebagai gong. Pada tahun 1936 dipadukan lagi dengan baskom dan ketipung kecil yang dimanfaatkan untuk perkusi, Sugra dan kawan-kawan kerap mendapatkan objekan panggungan ke mana-mana. Sugra pun melengkapi pertunjukannya dengan drama yang memaparkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat.
Meskipun semakin memasyarakat tarling pada waktu itu belum disebut sebagai jenis aliran musik. Tarling saat itu biasa disebut “melodi kota udang” untuk daerah Cirebon dan “melodi kota ayu” untuk daerah Indramayu. Istilah tarling baru dibakukan ketika RRI kerapkali menyiarkan jenis musik tersebut dan pada 17 Agustus 1962 bertepatan dengan HUT RI, Badan Pemerintahan Harian, semacam DPRD setempat meresmikannya dengan nama TARLING.**
Sumber : Akim Garis/*Pikiran Rakyat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar