Selasa, 12 Januari 2010

12 Pulau Terluar Berpotensi Konflik

Pulau Marore salah satu pulau terluar.

13 Januari 2010, Jakarta -- Dari 92 pulau terluar, yang akhir-akhir ini sering disebut pulau terdepan, yang digunakan sebagai titik dasar dalam menetapkan garis batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, 12 pulau di antaranya memiliki potensi konflik dengan negara lain.

Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal TNI Djoko Santoso mengungkapkan hal itu dalam paparannya di depan peserta Seminar Nasional ”Mengawal NKRI di Perbatasan” di Universitas Indonesia, Depok, Selasa (12/1).

Dua belas pulau itu adalah Pulau Rondo, Sekatung, Berhala, Nipa, Marore, Miangas, Marampit, Fani, Fanildo, Brass, Batek, dan Pulau Dana.

Menurut Djoko, potensi konflik itu menjadi lebih terbuka bila mengingat adanya sejumlah masalah di wilayah perbatasan. Masalah yang dimaksud, antara lain, belum tuntasnya perundingan untuk menetapkan batas wilayah tiap negara di antara 10 negara yang berbatasan dengan Indonesia.

Selain itu, wilayah perbatasan, khususnya wilayah darat, tergolong daerah tertinggal dengan sumber daya manusia yang kapasitas dan kualitasnya rendah sebagai dampak dari terbatasnya infrastruktur sosial dan komunikasi. Panglima TNI juga menyebut unsur kesenjangan sosial dan ekonomi antara penduduk di perbatasan negara tetangga dan negara Indonesia.

Dalam forum yang sama, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro memaparkan, jenis ancaman nonmiliter, yang mewujud dalam ideologi, ekonomi, dan budaya, hingga jangka menengah lebih kuat dibandingkan dengan ancaman militer. Menyinggung sumbernya, ancaman bisa berasal dari internal, berupa terorisme dan separatisme, maupun eksternal, berupa pencurian ikan. Dari sisi aktornya, bisa negara atau bukan negara (nonstate).

Peserta seminar, termasuk mahasiswa UI yang Juli dan Agustus 2009 melakukan kuliah kerja nyata di wilayah perbatasan, mendapat tambahan wawasan dari Staf Ahli Kementerian Kelautan dan Perikanan Suseno Sukoyono dan Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Agung Mulyana.

Suseno antara lain menyoroti berbagai praktik pencurian ikan dan keterbatasan sarana di Kementeriannya. Misalnya, dari 45 kapal patroli yang seharusnya dimiliki, kini baru ada 23 kapal.

Agung mengakui tanda perbatasan yang jauh dari mencukupi. Bahkan, tanda (patok) yang dipasang tak sedikit yang hilang.

Sejarawan Leirissa dari UI mengusulkan adanya satuan pengawal laut yang kuat bila kita benar-benar ingin mengembangkan wawasan bahari.

Guru besar hukum internasional Hikmahanto Juwana juga mengingatkan perlunya bangsa Indonesia, termasuk mahasiswa, memberi perhatian lebih serius terhadap masalah perbatasan.

Sebaliknya, Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri menyebutkan, kuliah kerja nyata yang sebelum ini vakum akan digiatkan kembali. Tahun ini, UI akan kuliah kerja nyata di Miangas.

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar