Kamis, 08 Oktober 2009

Manajemen Senjata Dinilai Menyimpang

Puluhan anggota TNI malakukan evakuasi korban jatuhnya pesawat C-130 Hercules Alpha 1325 di Desa Geplak, Kecamatan Karas, Magetan, Jawa Timur, Rabu (20/5). (Foto: Antara)

8 Oktober 2009, Jakarta -- Manajemen pengadaan dan perawatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dijalankan Departemen Pertahanan (Dephan) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dinilai masih bermasalah.

"Anggaran minim tidak dibarengi kinerja yang baik," kata Pakar Manajemen Pertahanan, Dephan, Koesnadi Kardi saat seminar "Manajemen Alutsista dan Postur Pertahanan Masa Depan" di Jakarta, Rabu (7/10).

Dia mencontohkan, sistem yang salah namun masih berlanjut saat ini adalah kanibalisasi. Agar tetap layak (serviceable), militer mengorbankan armada serupa yang masih baik.

Sebenarnya langkah ini ditempuh saat embargo diberlakukan negara-negara barat. "Tapi keterusan sampai sekarang," katanya.

Begitu pula dengan maraknya kolusi antara vendor dan para pengambil kebijakan di TNI dalam pemilihan dan pengadaan senjata.

Suku cadang yang kualitas rendah dari agen ditawarkan dengan harga tinggi karena kepentingan oknum pejabat dan agen yang nakal. "Fenomena ini harus segera dihentikan," kata Koesnardi.

Dia mengakui sudah ada perbaikan yang dilakukan Dephan guna mengurangi bocor dan boros. "Namun, baru berkurang 15 persen saja," katanya.

Dephan mengakui hingga tahun 2004 pengadaan senjata belum teratur. "Terkadang senjata yang dibeli tidak sesuai kebutuhan atau postur TNI," kata Kolonel Bambang Eko, anggota direktorat pengadaan, Direktorat Jenderal Sarana Pertahanan, Dephan.

Bahkan, dia tidak menampik, dahulu orientasi pelaksanaan pengadaan tidak ke pabrikan, tapi pada agen. "Ketika itu pengawasan internal tidak maksimal," kata Bambang.

Lima tahun terakhir, kata dia, Dephan terus berbenah. Pengawasan internal dilakukan secara proaktif, efektif, dan akuntabel.

Membeli produksi luar negeri juga tanpa persyaratan dengan pola G to G (antarpemerintah). "Tak ada lagi perantara atau broker," katanya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Effendy Choirie melihat, belum ada kesepahaman dalam internal militer itu sendiri. Ego antarangkatan masih sering terjadi.

Belum lagi tidak adanya sinkronisasi antara Dephan sebagai penentu kebijakan pengadaan dan pengguna senjata, dalam hal ini TNI.

"Alhasil, penentuan sasaran program tidak sesuai kebutuhan pengguna," katanya.

Selama 10 tahun berada di komisi I (bidang pertahanan) DPR, Effendy menilai belum ada perubahan yang berarti terkait pengadaan dan pemeliharaan.

JURNAL NASIONAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar